Rabu, 30 Mei 2012

Review Film "KASMARAN (1987)"; Antara Keperawanan, Kebenaran Nurani dan Cinta

KASMARAN 
(Slamet Rahardjo Djarot, 1987)


Genre : Drama

Sutradara : Slamet Rahardjo Djarot
Skenario : Slamet Rahardjo Djarot
Cerita : S. Mara GD
Penata Musik : Billy J Budiardjo
Penata Kamera : M. Soleh Ruslani
Penata Artistik : Satari SK
Penata Gambar : Karsono Hadi
Penata Suara : Zakaria Rasyid

Pemeran

Ida Iasha
Dwi Yan
Ira Wibowo
August Melasz
Sylvia Widiantono
Rachmat Hidayat
Rossy S Drajat
Nani Somanegara
Afrizal Anoda
Eka Gandara
Tatty Rodiah
Robert Syarif
Anton Samiat

Sinopsis

Separuh dari film ini mengisahkan keretakan hubungan suami istri Ayu dan Sutra. Sutra sangat dihantui ketidakperawanan Ayu, bahkan sampai usia lima tahun perkawinan mereka, meski Ayu sudah berterus terang apa adanya. Akibatnya Sutra sukar berhubungan seks dengan istrinya. Kebetulan diketahui pula Ayu berjumpa dengan teman lamanya, Manaseh. Sutra semakin curiga dan dibakar api cemburu, ditambah dnegan suasana kejiwaannya yang makin labil. Ia sendiri juga punya hubungan dengan Rhoda Darsono (Ira Wibowo), yang sangat posesif sifat cintanya, hingga sudah sampai pada tingkat meresahkan Sutra, yang hanya ingin bersenang-senang saja. Sayang, film ini bukan film psikologis, tapi film kriminal. Pada puncak keadaan Ayu tak tahan lagi, justru Sutra sadar akan kesalahannya. Pada saat itulah Sutra terbunuh. Maka selanjutnya film menjadi ajang penyelidikan siapa pembunuhnya lewat sebuah interogasi panjang oleh polisi, baik secara sendiri-sendiri, ataupun mengkonfrontir semua saksi. Ternyata, pembunuhnya orang yang tak disangka-sangka.


Prestasi
1. Unggulan Sutradara, Piala Citra FFI 1988 (Slamet Rahardjo Djarot)
2. Unggulan Skenario, Piala Citra FFI 1988 (Slamet Rahardjo Djarot)
3. Unggulan Tata Suara, Piala Citra FFI 1988 (Zakaria Rasyid)
4. Unggulan Penyuntingan, Piala Citra FFI 1988 (Karsono Hadi)
5. Unggulan Pemeran Pembantu Wanita, Piala Citra FFI 1988 (Ira Wibowo)
6. Piala S. Toetoer, Poster Terbaik FFI 1988
7. Film Terpuji Festival Film Bandung 1988
8. Sutradara Terpuji Festival Film Bandung 1988 (Slamet Rahardjo Djarot)
9. Penyuntingan Terpuji Festival Film Bandung 1988 (Karsono Hadi)
10. Aktris Terpuji Festival Film Bandung 1988 (Ira Wibowo)


Review
Diadaptasi dari novel karangan S. Mara GD, berjudul "Misteri Sutra yang Robek", Slamet mengeksekusinya  dengan menampilkan ketegangan-ketegangan psikis, hal ini terlihat dari pelaku-pelakunya dari tiap adegan. Dialog-dialog yang sarat akan beban mental dan ekspresi yang muram, adalah upaya Slamet untuk menghadirkan konflik beban psikologis yang dialami tokoh-tokohnya. Cerita tentang film Kasmaran, bukanlah problem baru dalam masyarakat kita, apalagi masyarakat di dunia barat. Keperawanan bukan soal penting lagi untuk sebuah perkawinan dalam zaman yang semakin modern sekarang ini, memang merupakan pola pikir yang sudah menggejala dimana-mana. 

Slamet Rahardjo Djarot mencoba menggugat sikap sebagian masyarakat yang sering terjebak pada tradisi pendapat umum, yang melihat keperawanan hal yang sangat krusial bagi seorang pria ketika memasuki mahligai rumah tangga. Sutra (dipernakan Dwi Yan), adalah contoh seorang yang menjadi korban dari tradisi pendapat umum tersebut. Sutra mengikuti saja tradisi pikiran masyarakat (diwakili kakak dan ibunya) tanpa berusaha merevisi. Padahal dia seorang terpelajar, yaitu seorang insinyur. Intelektualitas seseorang tidak dapat menjamin seseorang menajdi pribadi yang bijaksana, arif dan dewasa dalam berpikir dan bertindak.

Lain dengan karya-karya Slamet sebelemunya, seperti Kembang Kertas, Kodrat atau Ponirah Terpidana, penggarapan Kasmaran tidak serumit itu. Lewat Kasmaran, Slamet mencoba mengajak penonton untuk merenungkan kembali kebiasaan dan tabiat kita yang selalu bertindak dan bersikap berdasarkan sebuah tradisi, tanpa mau memikirkan kembali baik atau buruknya tradisi tersebut. Karakter Sutra, oleh Slamet, dijadikan korban dari tradisi itu. Tradisi pikiran yang meletakkan perkawinan sebagai ikatan lahir batin seorang wanita dan seorang pria yang tak cukup hanya dilandasi oleh cinta belaka, tapi juga harus dengan sebuah keperawanan wanita tersebut. Kasmaran tampaknya memang hadir untuk menggugat. Dan dalam usaha untuk menggugat itu, Slamet dengan kehalusan bahasanya, melemparkan pula banyak persoalan lain yang melingkar-lingkar di seputar tokoh-tokohnya. Antara cinta, keperawanan, keraguan, harga diri, kebenaran nurani dan ketidakb erdayaan, semua numplek dalam diri karakter-karakter di film ini sehingga Kasmaran hadir sebagai bentuk ekspresi yang bisa dikatakan kompleks. Tak hanya trauma keperawanan yang menghantui pikiran Sutra yang ditampilkan Slamet, tapi juga ketidak berdayaan sebagai seorang laki-laki dalam menghadapi kenyataan hidupnya ditampilkan dengan penuh intensitas. Tokoh-tokoh dalam dalam film ini tak berhasil menampilkan intensitas tersebut lewat aktingnya, kecuali Rhoda (Ira Wibowo), karakter lainnya seperti Ayu (Ida Iasha), Sutra (Dwi Yan), Manaseh (August Melasz), Sylvia Widiantono (tetangga), dan yang lain, hadir melulu sebagai pelaku dari realitas cerita. Pelaku dari keumuman pikiran masyarakat tadi. Tidak ada pemberontakan emosional, apalagi pikiran, dari tokoh-tokoh Slamet tersebut.

Slamet, agaknya memang tidak ingin atau tidak sampai pada keinginan untuk mencoba merubah cara pikir masyarakatnya lewat film ini. Cara pikir yang membuat seorang suami mudah sekali memukul istrinya, merendahkan istrinya. Atau sebaliknya, mencoba merubah cara pikir kebanayakan kaum wanita yang hanya dengan alasan cinta, menyerahkan kegadisannya kepada seorang atau berubah menjadi pembunuh hanya karena tersinggung harga dirinya. 

Kasmaran oleh Slamet diartikan sebagai sebuah rasa cinta yang amat besar sehingga membuat seseorang begitu penasaran. Dan Kasmaran (mabuk cinta), inilah yang telah membelit Rhoda (Ira Wibowo) pada kenekatan menyerahkan keperawanannya pada pria yang ia cintai, padahal pria itu sudah beristri. Kasmaran itu pula yang membuat Ayu (Ida Iasha) juga rela menyerahkan keperawanannya pada pacar pertamanya sehingga Sutra, suaminya, menjadi begitu kecewa ketika tidak memperoleh keperawanan itu pada malam pertama. Kasmaran memang bercerita tentang soal yang melingkar-lingkar di seputar keperawanan itu. Yang bercerita tentang seorang wanita bernama Ayu yang lembut, pendiam dan sangat dicintai Sutra. Rasa kasmaran membuat Sutra ngotot melamar Ayu meskipun wanita itu sudah menolaknya. Tapi rasa kasmaran Sutra telah mengalahkan segala alasan yang diberikan Ayu sehingga wanita itu pasrah dan menerima Sutra jadi suaminya. Namun kebahagiaan Sutra memperoleh Ayu mendadak sirna ketika ia menerima kenyataan bahwa Ayu sudah tidak perawan lagi. 

Alasan yang diberikan Ayu tentang soal ini, tak bisa begitu saja diterima Sutra. Meskipun ia seorang sarjana dan hidup di abad yang modern, tapi kenyataan tersebut tak bisa ia terima dengan nalar kesarjanaan yang ia miliki. Sutra ragu, dia tak mampu mengambil keputusan dan tak tahu apa yang harus ia lakukan. Rasa cintanya pada Ayu, di satu pihak, memang membuatnya bisa menerima ayu sebagaimana adanya. Tapi jalan pikiran yang sudah dibentuk oleh keluarganya, di pihak lain, seperti ujarnya pada Ayu, telah mnyeretnya pada bayangan-bayangan buruk yang sering membuatnya tak mampu menikmati saat-saat mesra mereka. Bayang-bayang lelaki yang pernah dicintai Ayu, sering mengganggu pikirannya setiap mereka naik ke ranjang. Dan itu, bagi Slamet, sudah cukup bagi alasan untuk membuat rumah tangga mereka tidak harmonis lagi. Perkawinan itu memang berjalan sumbang, ucapan-ucapan Ayu bahwa ia dulu bersedia menerima Sutra juga karena cinta, ternayat tak berhasil membuat Sutra yakin. Malah, setiap kali terjadi dialog, pembicaraan selalu saja lari ke persoalan masa lalu Ayu. Ke soal hilangnya keperawanan Ayu. Pertengkarannya menjadi semakin seru, dan puncaknya adalah ketika Sutra menjalin hubungan intim dengan Rhoda, seorang wanita belia yang tergila-gila padanya sehingga ia kemudia hamil dan meinta Sutra menceraikan Ayu. Tapi Sutra yang mencintai Ayu, tak dapat memenuhi permintaan Rhoda tersebut. Ayu sendiri, karena tak tahan menerima perlakuan Sutra, mengadukan hal itu pada Manaseh (August Melasz), teman SMA nya dulu. Suatu hari, Sutra melihat Ayu pulang diantar Manaseh. Dia langsung terbakar api cemburu. Keperawanan telah diperolehnya dari Rhoda, Tapi cintanya pada Ayu, ternayat tak segera terhapuskan. Dalam kebingungannya untuk bertindak antara memilih Rodha karena ia sudah menghamilinya atau memilih Ayu karena ia masih mencintainya. Konflik batin Sutra semakin jelas bentuknya. Di saat seperti itu pula, Ayu menerima telepon dari Rhoda yang menceritakan hubungannya dengan Sutra. Ayu terpukul hingga nekat pulang ke rumah kedua orangtuanya meskipun Sutra menghalanginya. Tapi Ayu tak mampu ditawar lagi. Ia minta Sutra menceraikannya sebab tak mau lebih lama menderita karena sikap Sutra yang penuh pura-pura, kekanak-kanakan dan tidak dewasa, dan itu membuat Sutra beringas sehingga menuduh Ayu yang bukan-bukan. Apalagi ia secara kebetulan menemukan kartu nama Manaseh dan selalu melihat lelaki itu mengantar Ayu pulang.

Pertengakaran, tak pelak, kembali terjadi. Saat itulah, Rodha yang kebetulan datang ke rumah Sutra menjadi sangat terpukul karena mendengar kata-kata Sutra yang menyudutkannya. Begitu Ayu pergi, muncul lah Rodha yang dengan histeris, menuntut tanggung jawab Sutra. Mereka kemudian bertengkar sampai Sutra meludahi wajah Rodha, dan dengan gunting yang sudah ia persiapkan, ia menikam Sutra hingga tewas. Pembunuhan itu telah menyeret pihak kepolisian, dan dalam penyelidikan polisi, terbuktilah yang membunuh Sutra adalah Rodha meskipun polisi sempat menahan Ayu sebagai tertuduh. Adegan ini, oleh Slamet, ditampilkan dengan sistem kilas balik yang mengalir cukup manis. Slamet mengakhiri filmnya ini dengan klimaks yang manis. Sebuah klimaks yang sekaligus menajdi anti klimaks. Sebuah pertanyaan yang sekaligus memberikan jawaban. Bahwa sesungguhnya pada manusia itu sendirilah terpulangs egala persoalan. Dan, kalaupun kemudiana da manusia-manusia lain yang ikut terlibat dalam persoalan itu, mereka hanyalah sarana. Sekedar pelaksanaan dari keinginan setiap orang, wakil dari sebuah kenyataan lain. Melalui film ini, Slamet memang mencoba menyimpulkan pendapat seperti itu. kehadiran polisi pada adegan-adegan akhir film ini, adalah gambaran yang jelas tentang hal itu. Polisi di mata Slamet, adalah wakil dari hati nurani, dari kebenaran, dan hati nurani setiap orang, adalah kebenaran itu sendiri.

Sebagai cerita, Kasmaran memang baik sekalipun baik disini terbatas karena intensitas konflik yang disuguhkannya. Dan sebagai karya sinematograf, Kasmaran memang tidak lebih baik dari karya-karya Slamet terdahulu, tapi juga tidak lebih buruk dari karyanya yang lain. Dalam hal akting, misalnya, satu-satunya pemain yang patut kita pujikan di sini hanyalah Ira Wibowo yang tampil begitu total dengan kemampuan membagi kadar emosionalnya dari setiap adegan. Ira hadir sebagai pemain yang mampu menghidupkan film ini pada klimaksnya. Sebenarnya, Ira Wibowo menjadi kandidat kuat penerima Citra FFI 1988 untuk pemeran pembantu wanita, tapi jangan lupa, di jajaran nominee, ada Ria Irawan yang tampil tak hebat di film Selamat Tinggal Jeanette.

Dalam hal penyutradaraan, Slamet dalam Kasmaran tidak jauh berbeda dengan karyanya terdahulu. Kasmaran amsih memperlihatkan sosok Slamet sebagai sutradara yang rumit. Cir khas Slamet memang selalu menggunakan idiom-idiom bahasa gambarnya sebagai cerita sekaligus perlambang, simbol-simbol. Adegan komidi putar yang berjalan lambat kemudian cepat, atau dua gelas yang beradu di atas meja lalu terguling jatuh, dan pecah berantakan di lantai, atau potret matahari yang memerahkan langit, adalah beberapa simbol Slmaet untuk mengatakan sesuatu agar tidak menjadi vulgar. Slamet sebagai sutradara memang memiliki bahasa pengucapan gambar yang kuat meskipun ia belum memiliki gagasan-gagasan pikiran yang cemerlang ketika mengutarakan pokok-pokok pikirannya. Untuk unsur teknis lain, sinematografi film ini tidak bisa dikatakan buruk, tata kamera oleh M. Soleh Ruslani berhasil menangkap nuansa-nuansa emosional yang dikehendaki Slamet Rahardjo. Penyuntingan gambar oleh Karsono Hadi juga cukup baik untuk tak membuat film ini kehilangan benang merahnya, sehingga Kasmaran tampil dnegan gaya bertutur yang lancar. Walaupun, bagi penonton awam, akan sulit untuk dapat dengan segera menafsirkan simbol-simbol yang dihadirkan Slamet.

Kelemahan dalam film ini, selain akting kedua pemeran utama, bisa jadi terletak pada tata musik yang digarap Alm. Billy J. Budiardjo. Terasa sekali musik tidak berhasil mendukung cerita dan sama sekali tidak mampu membangun suasana emosional penonton. Musik yang hadir hanya bunyi-bunyian yang mengiring adegan, tapi tidak kuasa membangkitkan adegan untuk sampai pada klimaks-klimaks emosionalnya. Akibatnya, Kasmaran yang memang muram, berjalan dengan dingin. 

Tapi secara keseluruhan, kita pantas bangga dengan Slamet Rahardjo Djarot. Slamet adalah salahs atu sutradara terbaik yang dimiliki negeri ini, dan Slamet di setiap filmnya tetap menunjukkan sosoknya yang utuh sebagai sutradara handal Indonesia. Kasmaran adalah sebuah karya yang unik, dimana film ini adalah bentuk kompromi Slamet Rahardjo Djarot dengan pasar, meskipun kualitas karya Slamet Rahardjo Djarot tetap menjadi hal utama.

Trivia

Film ini dapat diakses dari Sinematek Indonesia


#BestOf DONNY DAMARA



DONNY DAMARA
Aktor, Model
Genre : Drama, Romansa
Tahun Aktif : 1988 - sekarang

"Akting itu katup pelepasan kejenuhan"


1. RENDY - Cinta Anak Jaman (Buce Malawau, 1988)



Film pertama Donny Damara, bermain bersama pemain-pemain seangkatannya, Paramitha Rusady, Ira Wibowo dan Didi Petet. Donny, seorang penyiar radio menjadi pasangan Paramitha, seorang instruktur senam. dimana pasangan baru ini masih labil dalam emnjalani hubungan, dengan cemburu-cemburu buta dengan alasan-alasan dangkal yang tidak dipikirkan secara matang, secara mereka sudah berumur dewasa atau matang, bukan remaja lagi. Peran kocak Didi Petet memberinya sebuah Piala Citra.

2. ALDI - Ketika Cinta Telah Berlalu (Adi Soerya Abdi, 1989)


Dalam film romansa ini, Donny Damara berperan sebagai mahasiswa ganteng, Aldi, yang berada diantara dua wanita, Dewi (Nurul Arifin) dan Dini (Sophia Latjuba). Hubungan Aldi dengan Dewi yang putus karena pilihan Dewi dalam mengejar karir, membuat Aldi berpaling pada Dini. Ketika Aldi menolak ajakan Dewi untuk kembali, Dewi frustasi dan meneror Aldi dan Dini.

3. TOM - Dua Kekasih (Agus Ellyas, 1990)


Donny kembali berpasangan dengan Paramitha Rusady, mereka menjadi suami dan istri. Perkawinan mereka dibumbui banyak konflik, seperti belum hadirnya keturunan, intervensi keluarga, kesibukan di karirnya dan jatuhnya Tom ke pelukan wanita lain (Ayu Azhari).

                                        4. JOHNY - Pagar Ayu (Agus Ellias, 1990)



Menjadi pemuda bernama Johny, selingkuhan atau lebih tepatnya pelampiasan seorang wanita bernama Ika (Paramitha Rusady). Hubungan Johny dengan Ika sudah terlalu jauh yang mengkaibatkan Ika hamil, padahal Ika telah bersuami (Rano Karno).

5. UJANG - Joe Turun Ke Desa (Chaerul Umam, 1990)


Berperan sebagai Ujang, seorang insinyur yang kembali ke desanya yang membantu sekelompok mahasiswa yang sedang melakukan kegiatan kuliah kerja nyata di desa. Ujang juga berperan dalam menyelsaikan konflik antara mahasiswa yang KKN dengan berandalan desa.

6. PRASOJO - Perwira dan Ksatria (Norman Benny, 1990)


Salah satu film yang mencuatkan nama Donny Damara sebagai seorang aktor handal.
Film ini juga bertema unik, dan jarang, tentang Angkatan Udara Republik Indonesia. Perannya sebagai Prasojo, pemuda dari keluarga yang kurang berada, bersungguh-sungguh berniat menjadi pilot tempur AU, dan akhirnya diterima di Akademi Angkatan Udara. Aktingnya yang mengesankan, membuatnya mendapat nominasi pertama di FFI 1991, untuk pemeran pembantu pria.

7. DONI - Boss Carmad (Chaerul Umam, 1990)


Lagi, dengan Paramitha Rusady. Donny Damara menjadi Doni, sama seperti namanya, dia seorang jurnalis yang berpacaran dengan Sutirah (Paramitha Rusady), seorang anak petani miskin yang hartanya habis dikeduk Boss Carmad (Deddy Mizwar), Boss Carmad juga mengincar Sutirah menjadi istrinya.

8. GANDI - Minggu Pagi di Victoria Park (Lola Amaria, 2010)


Berperan sebagai Gandi, pegawai kedutaan RI yang mengurusi buruh migran. Disini dia membantu Mayang (Lola Amaria) seorang buruh wanita yang menjadi TKW di Hongkong yang juga mencari adiknya, Sekar (Titi Sjuman), seorang TKW juga, yang menghilang tidak ada kabar beritanya.

9. SAIFUL / IPUY - Lovely Man (Teddy Soeriaatmadja, 2012)


Inilah salah satu peran yang paling menantang bagi Donny Damara, sekaligus membuktikan bahwa dirinya memang aktor yang patut diperhitungkan. Menjadi seorang transgender bernama Syaiful atau Ipuy, seorang pria yang mencari nafkah di Jakarta dengan menjadi banci, dan memiliki anak perempuan (Raihanuun) dari pesantren yang merindukan bapaknya yangh dipuja. Mereka dipertemukan setelah 14 tahun berpisah. Permainan yang sangat mengesankan dari Donny dan Raihanuun. Peran Donny sebagai Saiful memang luar biasa. Dia mampu menampilkan kegetiran hidup yang harus dijalani si waria tanpa banyak berkata-kata. Melalui gestur dan sorot mata, dia mampu mengatakan pada penonton, betapa kelam persoalan yang harus di lakoni sebagai transgender yang terpaksa "bekerja" di jalanan. Aktingnya yang tidak biasa ini menempatkan Donny membuat bangga Indonesia dengan menang di ajang Asian Film Award tahun ini dengan salah satunya mengalahkan aktor Andy Lau. Kemarin, aktingnya kembali dipuji dengan menjadi pemeran utama pria terbaik Indonesian Movie Award.


Selasa, 29 Mei 2012

Adegan-adegan dalam film Klasik (Bagian 1)


1. BADAI PASTI BERLALU (Teguh Karya, 1977)


Ini adalah adegan dimana Helmi (Slamet Rahardjo) datang ke pemakaman anaknya, Kosa, yang meninggal karena sakit. Terpampang ekspresi penyesalan dari Helmi karena tidak dapat menjadi ayah yang baik bagi anaknya serta tidak dapat menjaga keutuhan rumah tangganya dengan Siska (Christine Hakim).


2. TALI MERAH PERKAWINAN (Hengky Solaiman, 1981)


Potongan adegan dimana keluarga ini baru ditinggal ibu rumah tangga (Tuti Indra Malaon), dan kedudukannya digantikan anak tertuanya (Yessy Gusman) yang mengambil alih mengurus ayah dan adik-adiknya.

3. CINTA PERTAMA (Teguh Karya, 1973)


Debut Christine Hakim di layar lebar. Ini adalah adegan dimana tiga sahabat (Christine Hakim, Soultan Saladin dan Ully Artha) yang sedang mau pulang ke Jakarta dengan kereta api, dan dalam kereta, Ade (Christine Hakim) bertemu pujaan hatinya, Bastian (Slamet Rahardjo).


4. DOEA TANDA MATA (Teguh Karya, 1984)


Ining (Jenny Rachman) seorang artis panggung, tampak jatuh hati dengan seorang pemuda aktif pergerakan, Gunadi (Alex Komang).

4. PACAR KETINGGALAN KERETA (Teguh Karya, 1988)


Konflik ruwet dalam film ini, membuat banyak kesalahpahaman. Riri (Ayu Azhari) meminta maaf sambil memeluk Tante Retno (Niniek L Karim) atas kesalahpahaman yang terjadi antar orangtuanya dengan keluarga Retno yang membawa dampak yang besar bagi orang-orang sekitar mereka.

5. DIBALIK KELAMBU (Teguh Karya, 1982)


Pasangan suami istri, Hasan (Slamet Rahardjo) dengan Nurlela (Christine Hakim) yang sedang bercengkrama, memperlihatkan kasih sayang mereka di tengah konflik dalam rumah tangga mereka.

6. KEMBANG-KEMBANG PLASTIK (Wim Umboh, 1977)


Film ini mengisahkan kehidupan di pelacuran, dan orang-orangnya yang mempunyai banyak mimpi, tapi terbentur realita. Roy Marten dan Ully Artha adalah termasuk dari orang-orang itu. Roy berperan sebagai buronan polisi yang mimpi kemewahan, dan Ully yang berperan sebagai pelacur, yang terjerumus akibat ulah suami.


8. SUCI SANG PRIMADONA (Arifin C Noer, 1977)


Suci (Joice Erna) dengan Oom Kapten (Soekarno M Noer), kepalsuan yang diperlihatkan Suci demi meraup kekayaaan dan kepuasan materi.

9. MATAHARI MATAHARI (Arifin C Noer, 1985)


Iyom (Marissa Haque), wanita tuna rungu yang hidup terlunta dengan bayinya, karena suaminya, Warga (Wawan Wanisar) lebih memilih hidup dengan seorang penyanyi dangdut (Rima Melati) dan tergiur kemewahan.

10. CINTA DIBALIK NODA (Bobby Sandy, 1984)


Akting prima Meriam Bellina yang membuahkan Piala Citra pertama, dimana ia menjadi drug addict karena frustasi dan dijerumuskan oleh orang-orang tak bertanggung jawab. Cinta nya pada Sandro Tobing bertepuk sebelah tangan.

Senin, 28 Mei 2012

Film Klasik dengan Tata Kostum yang mengesankan

1. TJOET NJA' DHIEN (Eros Djarot, 1986)


Salah satu film yang hampir dikatakan sempurna untuk penataan artistik, termasuk tata kostum dan rias. Eros Djarot terlihat sangat memperhatikan setiap detail dari film ini, tata kostum menggambarkan sosok Tjoet Nja Dhien pada saat itu, kehidupan gerilya dan kegetiran Tjoet Nja Dhien, serta para kompeni Belanda, semua tergambarkan dengan baik. Karena film ini adalah film biopik tokoh nyata, maka segala detail harus diperhatikan dengan sangat teliti.


2. GUNDALA PUTRA PETIR (Lilik Sudjio, 1981)



Salah satu dari sedikit film superhero Indonesia yang dikenang. Karena memang film ini bertemakan superhero, amak pemeran superhero Gundala (Teddy Purba) juga menggunakan kostum khas superhero. Kostum Gundala memang mirip Captain America. Gundala, karya Hasmi, berpakaian hitam-hitam berupa kaus ketat yang menutupi seluruh tubuh dan sebagian wajahnya. Kepalanya pun tertutup kedok hitam, dengan hiasan sayap atau bulu di masing-masing kupingnya (konon, sayap di kuping itu perlambang sayap burung garuda, lambang negara kita). Kostum ini mirip Captain America. Bedanya, Gundala tertutup pakaian warna gelap sedang Captain America (yang muncul di masa menjelang Perang Dunia II ketika patriotisme Amerika memuncak) berwarna merah-putih-biru, warna bendera Amerika.

3. DOEA TANDA MATA (Teguh Karya, 1984)


 Berlatar tahun 1930, dan menggambarkan suasana pergerakan pemuda saat itu, kostum para pemeran film ini juga terkonsep dengan baik dan dapat menggambarkan cara-cara berpakaian para pemuda terpelajar, dan wartawan pada era 30-an. 

4. NOVEMBER 1828 (Teguh Karya, 1978)


Berlatar perang Diponegoro, artistik film ini tergarap dengan baik dan begitu teliti. Teguh Karya memang sangat memperhatikan semua detail film ini, dari adat istiadat zaman yang lampau di Jawa Tengah, kostum serta properti, semuanaya merupakan hidup kembalinya sebuah dokumentasi yang meyakinkan akuratnya.


5. PENGKHIANATAN G 30 S/PKI (Arifin C Noer, 1982)


Tak dapat dipungkiri, film ini adalah salah satu film yang memiliki konsep kostum yang bagus. Kostum pemeran para jenderal dengan keluarganya, pemerintah orde lama saat itu, pasukan cakra birawa, gerwani, para gembong PKI dan pelaku sejarah 1965 saat itu divisualisasikan dengan baik, atau bahkan sempurna. Hal ini didukung karena film ini juga dibiayai pemerintah dan propaganda, dan juga pastinya di eksekusi oleh maestro sekelas Arifin C Noer, salah satu sutradara yang penting akan 'detail' dalam setiap filmnya.

 6. JAKA SEMBUNG SANG PENAKLUK (Sisworo Gautama Putra, 1981)


Film ini sangat fenomenal di jamannya, hingga sekarang menjadi legenda. Berasal dari komik, dan Sisworo Gautama berhasil memfilmkan tokoh Jaka Sembung ini. Film ini sebenarnya memakai 3 unsur cerita, percintaan, perlawanan dengan penjajah Belanda, tentang jago-jago tarung dahulu. Film ini sangat sukses mengangkat tentang jawara dulu, dengan latar di daerah Jawa Barat, tetapi tidak ada dialog Sunda sama sekali. Kostum yang dikenakan Jaka hampir sama dengan Si Pitung, bedanya jaka ikat kepala, Si Pitung pakai peci. Apakah ikat kepala adalah ikat kepala Sunda, tidak ada yang tahu. Yang pasti film ini sangat sukses mengangkat bagaimana hebatnya petarung-petarung jaman dahulu itu yang disinyalir memiliku ilmu yang hebat sekali. 

7. SAUR SEPUH (Imam Tantowi, 1988)


Berasal dari sandiwara radio, film ini menjadi ditunggu-tunggu ketika diangkat ke layar lebar. Ternyata Imam Tantowi dapat menerjemahkan visualisasi dari radio ke dalam film dengan cukup baik. Kostum, setting, sosok karakter, dan adegannya hampir sama dengan imajinasi penikmat Saur Sepuh saat sandiwara radio.


8. IRA MAYA PUTRI CINDERELLA (Willy Wilianto, 1979)


Adaptasi dari cerita dongeng Eropa, dan dimanikan oleh artis cilik ngetop saat itu, Ira Maya Sopha, dan karakter Cinderella juga melekat pada dirinya sampai sekarang. Karena adaptasi dari dongeng, maka setting, kostum dan properti juga harus sama dengan cerita dongengnya. Hasilnya cukup unik dan menarik apalagi para kurcaci. karena mungkin saat itu cukup jarang film yang diadaptasi dari dongeng, khususnya dongeng impor.

9. SI BONEKA KAYU, PINOKIO (Willy Wilianto, 1979)


Selain Cinderella, dongeng impor yang diangkat ke layar lebar kita adalah kisah Pinokio, dan yang jadi Pinokio adalah Ateng. Kostum, Setting dan Properti juga digambarkan sama dengan cerita dalam dongeng. Hasilnya seperti menonton opera anak, yang jarang kita temui saat ini.

10. KISAH ANAK-ANAK ADAM (Ali Shahab, 1988)
 


Cerita Nabi Adam dan Hawa yang diusir dari surga, serta para keturunan yang nikah silang atas petunjuk Tuhan, sampai ke zaman Nabi Nuh. Unik dan jarang ada yang mau mengangkat cerita dan kisah nabi ke layar lebar, mungkin juga sifatnya yang sensitif, karena menyangkut agama dan kepercayaan. Tema film yang mengulas cerita nabi dan penghuni surga, dari setting, kostum dan properti digambarkan dengan cukup baik, meski mungkin kurang sempurna. Tapi yang menjadi nilai tambah adalah keberanian mengangkat tema yang berbeda.

11. ALADDIN DAN LAMPU WASIAT (Sisworo Gautama Putra, 1980)




Banyak film yang diadaptasi dari dongeng impor, juga membuat film-film tersebut juga membuat kesan dari tata kostumnya. Salah satunya, Aladdin dan lampu Wasiat ini. Sebelumnya juga pernah difilmkan tahun 1941 dan 1953, kali ini Aladdin diperankan Rano Karno. Jalan ceritanya sama dengan dongeng aslinya. Kostum, artistik serta propertinya pun dibuat hampir sama. Yang menarik karakter Jafar, musuh Aladdin, serta karakter Jin, yang dibuat hampir mirip seperti dongeng. Walau bukan cerita asli lokal, namun film ini menghibur dan salah satu film fantasi yang cukup jarang dibuat. 


12. RA KARTINI (Sjuman Djaya, 1982)






Biopik RA Kartini lengkap dengan segala setting, properti dan kostum di kehidupan ningrat Jawa di abad ke 19, divisualiasikan sangat baik oleh Sjuman Djaya. Tentunya didukung oleh kekuatan akting prima dari para pemain, RA Kartini bisa dijadikan salah satu contoh film biopik terbaik. Tidak mudah memang membuat film biopik seorang tokoh, karena perlu ketelitian yang sangat mendalam dalam menerjemahkan pesan dan kehidupan seseorang bagi orang banyak. 

Minggu, 27 Mei 2012

PEMENANG PENGHARGAAN FILM YANG MENGEJUTKAN

Perfilman Indonesia punya beberapa ajang penghargaan film yang memberikan apresiasi kepada hasil karya film, untuk segi film dan segala teknis film, dan juga kepada sineas film itu sendiri. Ajang itu diantaranya Festival Film Indonesia, Festival Film Bandung, Indonesian Movie Award, dan ajang Piala Vidia (dulu Festival Sinetron Indonesia). Berikut beberapa contoh para pemenang penghargaan-penghargaan tersebut yang cukup berkesan dan mengejutkan ;

1. MERIAM BELLINA - Cinta Di Balik Noda 
(Aktris Terbaik Festival Film Indonesia 1984)



Kemenangan cukup mengejutkan saat FFI 1984, untuk kategori pemeran utama wanita terbaik. Terderet nama-nama aktris unggul yang masuk nominasi, Christine Hakim, Lidya Kandou, Jenny Rachman, dan Zoraya Perucha. Saat pengumuman nominasi, dewan juri FFI 1984 tiba-tiba berembuk, karena teringat dengan akting mengesankan dari Meriam Bellina sebagai drug addict dalam film Cinta di Balik Noda. Jadilah Meriam Bellina menambah persaingan berat di kategori itu. Dan Meriam Bellina kembali membuat kejutan, dengan merebut Piala Citra dengan mengalahkan para pesaing beratnya itu.

2. RIA IRAWAN - Selamat Tinggal Jeanette
 (Aktris Pendukung Terbaik Festival Film Indonesia 1988)


Peran menantang Ria Irawan sebagai Trimah, pembantu yang digagahi majikannya, juga membuat dewan juri membuat keputusan yang cukup mengejutkan. Ria Irawan berhasil menyisihkan 4 unggulan lain, yang tak kalah hebatnya. Ira Wibowo bermain sangat bagus sebagai wanita pemuja posesif dalam film Kasmaran dan menang di Festival Film Bandung, Nani Wijaya main jadi iu priyayi yang dingin di Selamat Tinggal Jeanette, Rina Hassim berakting total menjadi perempuan mantan pengidap kanker di film Akibat Kanker Payudara, dan Rita Zahara bermain bagus di film Tjoet Nja' Dhien.

3.  EPIE KUSNANDAR - Sendal Bolong Untuk Hamdani 
(Aktor Televisi Terbaik Piala Vidia 2004)


Permainannya yang alami mengantarkannya meraih Piala Vidia untuk aktor terbaik. Pesaingnya cukup berat, yaitu Pietrajaya Burnama untuk FTV Perayaan Besar, Mathias Muchus untuk FTV Taxi Blues dan Rifat Sungkar untuk FTV Doa Bilik Santri.

4. DIDI PETET - Cinta Anak Jaman
(Aktor Pendukung Terbaik Festival Film Indonesia 1988)


Nama Didi Petet mulai muncul tahun 1987 lewat perannya sebagai pria kemayu di film Catatan Si Boy, kemudian Didi juga bermain apik dan menarik dalam film Cinta Anak Jaman bersama Paramitha Rusady, perannya itu membuatnya masuk nominasi Piala Citra. Cukup mengejutkan, karena semula perannya di film ini tak diperhitungkan. Unggulan lainnya pemain-pemain yang bermain di film yang tergolong 'berat', seperti Darussalam di film Ayahku, Remy Sylado di film Akibat Kanker Payudara, Rudy Wowor sebagai opsir Belanda di film Tjoet Nja Dhien, dan Slamet Rahardjo sebagai Teuku Umar di film Tjoet Nja' Dhien.

5. WIDYAWATI - Arini, Masih Ada Kereta yang Akan Lewat 
( Aktris Terbaik Festival Film Indonesia 1987 ) 


Kemenangannya cukup mengejutkan publik karena banyak kalangan menduga bahwa pemenangnya adalah Dewi Yull dalam film Penyesalan Seumur Hidup, tetapi perannya dalam film ini tak kalah bagus dari akting Dewi Yull. Selain Dewi Yull, unggulan lainnya adalah Marissa Haque, Ita Mustafa, dan Zoraya Perucha. 

6. MERIAM BELLINA - Aku Mau Hidup
(Aktris Terbaik Drama Piala Vidia 1994) 


Penampilan perdana dari Meriam Bellina di televisi ternyata sangat mengagumkan dan mendapat pujian dari banyak kritikus. Perannya sebagai wanita pengidap kanker mendapat apresiasi dari dewan juri piala Vidia dan menetapkannya sebagai Aktris Terbaik tahun 1994, mengalahkan saingan berat seperti Niniek L. Karim dalam Parmin, Dewi Yull dalam Opera Senja, Dea Yunita dalam Alang-Alang, dan Ratu Tria dalam Mengayuh Biduk. Kemenangannya ini semakin mengukuhkannya sebagai salah satu aktris berbakat. 

7. CHRISTINE SUKANDAR - Rembulan dan Matahari
(Aktris Pendukung Terbaik FFI 1980)


Nama Christine Sukandar agak asing di pencinta film nasional, memang beliau adalah seorang penyanyi. Perannya sebagai Paitun cukup mencuri perhatian dalam film Rembulan dan Matahari karya Slamet Rahardjo. Kemenangannya di FFI 1980 cukup mencuri perhatian, dan dia mengalahkan Rae Sita Supit dan Tuti Kirana.

8. ARYANI KRIEGENSBURG WILLEM - Under The Tree
(Aktris Pendukung Terbaik FFI 2008)


Gambar Kecil

Debutnya di dunia film langsung membuatnya meraih Citra. Namanya asing di telinga publik, karena memang ini debutnya. Garin Nugroho merekrutnya main di film ini langsung dari jerman, dan Aryani mendapat peran sebagai penari Bali.