1. DIDI PETET
Lulusan IKJ ini dikenal sebagai salah satu aktor teater dengan karakter yang kuat. Bersama (Alm) Sena A Utoyo, ia juga mendirikan Sena-Didi Mime, sebuah kelompok pertunjukan yang mengkhususkan pada pantomim. Setelah lulus dari IKJ, ia juga mengajar drama di IKJ. Berlatar teater membuatnya juga mencoba akting di wadah lain, yaitu film. Mulai tahun 1985 untuk film Semua Karena Ginah, karir Didi di film terbilang bagus. Identik dengan karakter Emon di Catatan Si Boy dan Kabayan di film-film Kabayan, Didi juga mendapat Piala Citra tahun 1988.
2. RATNA RIANTIARNO
Primadona Teater Koma. Itulah sebutan yang pas bagi Ratna Riantiarno. Sejak usia muda sudah bergabung di Teater ketjil nya Arifin C Noer, dia sering memainkan peranan penting dalam lakon-lakon Arifin c Noer, diantaranya Sumur Tanpa Dasar, mega-Mega, Madekur Tarkeni, dan lain-lain. Dia mendirikan Teater Koma, tahun 1977 bersama N Riantiarno yang menjadi suaminya. Sudah banyak lakon yang telah dimainkannya bersama Teater Koma, seperti Rumah Kertas, Opera Kecoa, Sampek Engtay, Suksesi, Kala, dan lain-lain. Selain aktris panggung, dunia film juga ditempuhnya. Sebut saja Opera Jakarta, Petualangan Sherina, Brownies dan lain-lain. Dalam Teater Koma, Ratna bertindak sebagai manajer dan 'ibu' bagi para anggotanya.
3. SLAMET RAHARDJO DJAROT
Bergabung dengan Teater Populer nya Teguh Karya tahun 1969, di awal karirnya, Slamet sudah mulai menampakkan kesungguhan dan totalitas di dunia akting, seperti di pertunjukan drama Pernikahan Darah, Kopral Woyzek, dan Perhiasan Gelas. Tahun 1971, debut filmnya, Wadjah seorang Laki-laki, mulai membuka jalan Slamet Rahardjo menjadi aktor yang diperhitungkan. berbekal didikan keras Teguh Karya, dia dapat menjadi aktor yang spesial, kelas aktor, dan menjadi sutradara handal dan disegani di tanah air. Buktinya, dia menjadi sineas yang paling banyak mengumpulkan nominasi Piala Citra. Saat ini, Slamet menjadi penerus gurunya, dalam mengelola Teater Populer.
4. JAJANG C NOER
Kecintaannya pada dunia teater tak perlu diragukan lagi. Teater Ketjil dan Teater Koma adalah wadah-wadah berekspresi Jajang C Noer dalam berteater. Sumur Tanpa Dasar adalah salah satu lakon yang pernah ia mainkan. Di Teater Ketjil, Jajang diarahkan oleh Arifin C Noer, yang juga suaminya, dan dia juga menjadi salah satu pendiri Teater Koma, yang dipimpin sahabatnya, N Riantiarno dan Ratna Riantiarno.
Jajang menyutradarai drama teater berjudul Vagina Monolog (2002), yang merupakan karya Eve Ensler, yang diterjemahkan oleh Gracia D. Asriningsih dan diadaptasi oleh Jajang dan Nursjahbani Katjasungkana. Vagina Monolog bercerita tentang sebuah perayaan seksualitas perempuan dengan segala kerumitan dan misterinya.
5. IKRANAGARA
Ketika kuliah kedokteran, dunia teater lebih memberikan ruang baginya untuk mengeskpresikan pikiran-pikiran, ideologi, dan renungan-renungannya. Berangkat dari budaya tradisional Bali untuk menciptakan suatu teater baru, Ikra melakukan dekonstruksi terjadap teater tradisonal dalam arti yang positif. Bakat aktingnya terasah di Teater Ketjil nya Arifin C Noer dan juga Teater Mandiri nya Putu Wijaya. Kematangan aktingnya bisa terlihat di peran-perannya yang dimainkan cemerlang.
6. (ALMH.) DRA. TUTI INDRA MALAON
Jarang-jarang kita memiliki pemain yang lengkap. Yang selain berakting, juga seorang pemikir. Tuti Indra Malaon adalah salah satunya. ia adalah seorang cendikia, Tuti adalah salah satu pendiri Teater Populer bersama Teguh Karya, sahabatnya, Tuti mampu berperan dalam teater yang titik pandangnya lebih luas dan lebih besar pada penonton. Ia pun mampu berperan pada titik pandang yang lebih sempit, yakni kamera pada setiap pembuatan film. Seperti diketahui bahwa pembuatan film lebih sulit, karena alur ceritanya harus dijalani secara terputus-putus, tidaks eperti di teater yang perannya dijalani berkeseinambungan sejak awal hingga akhir. Tapi semuanya dijalani Tuti dengan penuh totalitas, dia mampu mengatasi konsistensi arus perasaan dan emosinya dalam diskontinuitas permainannya dari kebutuhan bidikan kamera. Dua buah Piala Citra adalah hasil totalitas dari Tuti Indra Malaon.
7. (ALM) AMAK BALDJUN
Ketika duduk di bangku kuliah, Amak Baldjun telah akrab dengan teater. Bergabung dengan Bengkel Teater Rendra dan ikut membesarkan Teater Ketjil Arifin C Noer di era 70-an. Setelah bermain sejumlah lakon di Teater Ketjil, Amak juga ikut mencicipi dunia film. Debutnya di film Yuyun Pasien Rumah Sakit Jiwa (Arifin C noer, 1979), kemudian Janur Kuning dan Sepasang Merpati yang membuat dirinya masuk nominasi FFI sekaligus. Amak Baldjun dikenal sebagai aktor yang memiliki kekayaan imajinasi untuk mendekati tokoh yang dimainkan dengan karakter berbeda.
8. DRA. NINIEK L KARIM
Awal karir Niniek l karim dari panggung teater bersama sutradara kenamaan Teguh Karya. Berbagai karakter telah dimainkannya dengan cemerlang di Teater Populer. Dedikasi pada teater, sempat membuatnya meremehkan film dan membuat dia enggan untuk berakting di film. Kemudian Niniek ditegur dengan pernyataan bahwa sikapnya terlalu sombong, padahal dirinya sendiri belum mencoba main film. Niniek pun berubah pikiran, dan mencoba berakting di film, tapi tetap. prinsipnya adalah dunia film hanyalah sampingan, karena dia lebih prioritas di teater dan dunia akademisi. Percobaannya itu tetap dilakukan total dan sepenuh hati. Mengejutkan Piala Citra langsung digondolnya, bahkan dua Piala Citra berhasil didapatnya.
9. ALEX KOMANG
Alex Komang sejak remaja telah akrab dengan dunia teater. Pada era 1980-an, dia bergabung di Teater Tetas mengikuti Festival Teater Remaja dan mereka mementaskan Jerit Tangis di Malam Buta, perkenalannya dengan Teguh Karya membuatnya bergabung dengan Teater Populer yang memberinya peluang besar demi totalitas kesenian. Dalam setiap lakon, ia selalu memainkan peran yang menantang. Terjunnya Alex ke dunia film di tahun 1984, dua film sekaligus, Secangkir Kopi Pahit dan Doea Tanda Mata, yang terakhir memberinya sebuah Piala Citra. Kematangan aktingnya membuatnya dia menjadi aktor yang tangguh.
10. (ALMH.) TARIDA GLORIA
Aktris bertubuh subur ini sudah malang melintang di dunia teater dengan lakon-lakonnya seperti Sam Pek Engtay, Konglomerat Burisrawa, Suksesi, Opera Kecoa dan lain-lain. Bakat aktingnya terlatih di Teater Koma pimpinan N Riantiarno, dan juga di film-film yang lebih banyak komedi, pasti terkait dengan postur tubuh gemuknya yang menurut sebagian itu dapat memancing banyolan. Padahal sebenarnya, dibalik posturnya, Tarida memiliki potensi yang cukup besar sebagai aktris. Di atas bobot tubuh yang berat itulah ia membuat banyak orang terkesima akan kemampuannya. Lebih sering mendapat peran pembantu di film, tidak membuat kecanggihan seorang tarida Gloria hilang, dia tetap dapat memberikan kesan istimewa di mata penonton. Film-film terakhirnya, khususnya Plong (1991), memberikan porsi istimewa bagi Tarida. Bukan untuk peran yang diketawakan, melainkan sosok istri yang tangguh, yang dibalut dengan satir. Penampilan yang begitu cemerlang dari Tarida Gloria yang berpulang tahun 1999.
11. NANI SOMANEGARA
Aktris watak asal Bandung ini berasal dari dunia teater. Karir Nani Somanegara memang tercipta dari teater. Studiklub Teater Bandung (STB)
adalah sanggar teater yang telah mengasah kemampuan aktingnya.
Kemampuan aktingnya tidak diperoleh dari teori seni peran atau
dramaturgi di sekolah formal. Di tahun 1961, Nani Somanegara tampil dalam drama Paman Vanya karya Anton Chekhov,
yang dipentaskan di Bandung. Dalam pementasan itu, Nani didera sakit
batuk-batuk dan suaranya yang hampir hilang. Dalam keadaan seperti itu,
tidak ada pemain pengganti, alhasil Nani pun tetap berusaha maksimal dan
tetap bersikap profesional. Dalam babak tertentu, selesai ia
mengucapkan dialog yang agak panjang, ia keluar dari panggung di luar
skenario. Ia lalu lari menuju ruang rias, hanya untuk batuk-batuk dan
mengeluarkan dahaknya. Pada pementasan drama Romulus Agung karya F. Durrenmatt
di tahun 1967, Nani Somanegara pun ikut tampil. Entah sudah berapa
banyak pementasan drama STB yang ia ikuti sejak tahun 1958. Setiap ia
ikut dalam produksi STB ia hanyalah pemain, sebab hanya itu yang mungkin
ia tangani dengan sepenuhnya dan dengan kecintaan yang mendalam.
Selain dunia teater, pada tahun 1987 Nani Somanegara pun pertama kali bermain film. Film pertamanya, Kasmaran, karya Slamet Rahardjo Djarot, dimana ia beradu akting dengan Ida Iasha, Dwi Yan, dan Ira Wibowo. Aktingnya yang begitu mencuri perhatian dalam film Cas Cis Cus, Sonata di Tengah Kota (1990) karya Putu Wijaya, tak disangka Nani Somanegara menang di Festival Film Asia Pasifik 1991, di Taipei, sebagai Best Supporting Actress.
12. SYLVIA WIDIANTONO
Teater
Populer memang banyak melahirkan para aktor dan aktris tangguh yang
tentunya mumpuni dalam hal akting. Sebut saja Slamet Rahardjo, Christine
Hakim, Tuti Indra Malaon, Niniek L Karim, Alex Komang dan masih banyak
lagi. Tapi ada satu nama yang menjadi anggota setia teater populer,
yaitu Sylvia Widiantono. Namanya memang agak asing di telinga pencinta
film nasional, tapi beliau adalah salah satu aktris watak terbaik yang
pernah dimiliki negeri ini. Perkenalan
Sylvia dengan Teguh Karya, terjadi tahun 1966, saat pementasan Langit
Hitam, karya Taufik Ismail, di Fakultas Psikologi UI, tahun 1966, ketika
itu Sylvia ikut ambil bagian dalam pementasan tersebut. Teguh rupanya
terkesan dengan penampilan Sylvia, dan dia mengajak Sylvia untuk bermain
dan bergabung di pementasan Teguh Karya mendatang. Kecocokan Sylvia da
Teguh membawa Sylvia terlibat lebih jauh lagi dalam kegiatan berteater
sampai berdirinya Teater Populer. Sylvia
sangat ingat, bahwa dari awal Teguh sudah menanamkan bahwa
kesadaran para pemain Teater Populer memilih kegiatan teater karena
sudah menjadi suatu
kebutuhan. Dan spirit ini terus ditumbuhkan dan dipelihara. Sylvia
menilai karena inilah Teater Populer masih terus hidup dan para
anggotanya meski
sudah mandiri tetap punya satu ikatan yang kuat. Sylvia menambahkan
bahwa pertumbuhan Teater
Populer ibarat pertumbuhan sebuah pasar tradisional yang tumbuh
berdasarkan kebutuhan lingkungannya. la tercipta karena masyarakatnya.
Beda dengan pasar modern yang dibuat dulu baru dicari orang-orang yang
mau mengisinya. Teater Populer bisa terus terpelihara karena ada ikatan
batin yang kuat yang sudah ditanamkan dari awal pertumbuhannya oleh
seorang Teguh Karya.
Kecintaan aktor asli Betawi ini pada dunia seni tidak terbantahkan lagi. Buktinya, selepas sekolah, ia sempat berstatus pegawai negeri pada Dinas Kesehatan DKI Jakarta. Namun ayah dari 2 anak ini hanya betah 2 tahun saja sebagai pegawai karena ia lebih gandrung main teater – ia bergabung di Teater Remaja Jakarta. Selebihnya, jalan hidupnya banyak ia baktikan pada dunia seni, lebih tepatnya seni peran. Kecintaannya pada dunia teater telah mengubah jalan hidupnya. Beranjak dewasa, sekitar tahun 1973, Deddy mulai aktif di Teater Remaja Jakarta. Dan lewat teater inilah bakat akting Deddy mulai terasah. Deddy pernah terpilih sebagai Aktor Terbaik Festival Teater Remaja di Taman Ismail Marzuki. Tidak sekedar mengandalkan bakat alam, Deddy kemudian kuliah di LPKJ, tapi cuma dua tahun. Memulai karier di film pada 1976, Deddy bekerja keras dan mencurahkan kemampuan aktingnya, di berbagai film yang dibintangi. Pertama kali main film, dalam Cinta Abadi (1976) yang disutradarai Wahyu Sihombing, dosennya di LPKJ, dia langsung mendapat peran utama.
14. MATHIAS MUCHUS
Mengawali karirnya di panggung teater, namun lebih dikenal sebagai pemain film. Lulusan IKJ ini main film pertama kali tahun 1982, karya Ami Prijono, Roro Mendut, bersama Meriam Bellina. Sekarang Muchus jarang terlibat dalam pementasan teater, namun ia menyalurkan kesukaannya dengan menjadi pengajar di almamternya, IKJ jurusan teater.
15. HENGKY SOLAIMAN
Hengky Solaiman memulai karirnya di dunia teater. Berbekal ilmu di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI), disana ia berkenalan dengan rekan-rekannya seperti Teguh Karya, Wahab Abdi, dan Pietrajaya Burnama. Tahun 1968, Hengky aktif dalam pementasan Teater Populer sebagai pemain, penata usaha dan pemasaran. Ketika Teguh Karya membuat film bioskop pertama di tahun 1971, Wadjah Seorang Laki-laki, ia pun turut ambil bagian, sebagai pemain dan juga pimpinan unit. Setelah itu, selain teater, Hengky aktif juga di film, terutama di film-film Teguh Karya, pasti ada Hengky Solaiman. Dengan bekal pendidikan sinematografi, Hengky menjadi asisten sutradara Teguh Karya, di film ranjang Pengantin (1974) dan menjadi sutradara film mengikuti gurunya, Teguh Karya, tahun 1981, yaitu film Tali Merah Perkawinan.
i love they are
BalasHapus