SLAMET RAHARDJO DJAROT
Aktor, Sutradara, Penulis Skenario
Tahun Aktif : 1969 - sekarang
Tahun Aktif : 1969 - sekarang
Genre : Drama
" Ketika Jejak dilangkahkan, seribu kreatifitas terlahirkan!"
"Seni itu tidak mengenal tua dan muda. Yang terpenting adalah bagaimana bisa meyakinkan dan tidak meyakinkan"
Siapa tak kenal pria berkumis tebal dengan tahi lalat khas di pipi kanan ini, seorang pria asal Serang yang dikenal sebagai salah seorang aktor Indonesia yang eksis hingga kini, Slamet mulai menjelajah dunia panggung sandiwara dengan bergabung ke “Teater Populer” milik sang maestro Teguh Karya, 44 tahun lalu. Tentu, awalnya hanya menjadi anak bawang. Namun, berkat keseriusan dan kesungguhannya, Slamet selanjutnya menjadi aktor teater yang tangguh. Kakak kandung budayawan Eros Djarot ini mulanya bercita-cita menjadi seorang penata kamera. Tetapi garis nasib mengantarkannya menjadi seorang aktor. Slamet menjadi aktor dalam pertunjukan drama “Pernikahan Darah”, “Kopral Woyzek”, “Perhiasan Gelas”, dan masih banyak lagi.
Selanjutnya, Slamet mulai mencicipi dunia film pada tahun 1971, dengan membintangi film “Wadjah Seorang Lelaki”, yang tetap disutradarai Teguh Karya. Dengan modal akting yang mumpuni dari teater, Slamet menjadi aktor yang tidak menjual tampang, tapi kualitas akting. Slamet meraih Piala Citra pertama sebagai Aktor Terbaik dalam FFI 1975, atas aktingnya yang berkesan dan mengharukan dalam film “Ranjang Pengantin”. Film-film lain yang dibintangi Slamet diantaranya “Perkawinan dalam Semusim” (1976), “Badai Pasti Berlalu” (1977), “November 1828” (1978)”, dan mulai tahun 1979, beralih menjadi sutradara film mengikuti jejak gurunya, Teguh Karya. Film pertama "Rembulan dan Matahari" (1979) cukup sukses dan berbicara di festival, dan ciri film karya Slamet hampir mirip dengan gurunya, meski di tahun 1987 sudah mulai berkompromi dengan pasar, tapi tetap detail dalam penggarapan.
Sebagai AKTOR
10. Wadjah Seorang Laki-Laki (1971) - sebagai Amallo
Setelah 2 tahun bergabung di Teater Populer pimpinan Teguh Karya, Slamet ikut ambil bagian dalam film layar lebar pertama garapan Teguh. Berperan sebagai Amallo, pemuda yang berontak kepada ayahnya yang brengsek dan meninggalkan ibunya. Debut pertama Slamet di medium layar perak telah menunjukkan potensi yang besar dari seorang Slamet Rahardjo, mungkin karena bakatnya yang terasah dari teater.
Setelah 2 tahun bergabung di Teater Populer pimpinan Teguh Karya, Slamet ikut ambil bagian dalam film layar lebar pertama garapan Teguh. Berperan sebagai Amallo, pemuda yang berontak kepada ayahnya yang brengsek dan meninggalkan ibunya. Debut pertama Slamet di medium layar perak telah menunjukkan potensi yang besar dari seorang Slamet Rahardjo, mungkin karena bakatnya yang terasah dari teater.
Tak
ada tampang orang barat atau bule, Slamet untuk pertama kali berperan
sebagai orang Belanda, Captain De Borst, antagonis dan rival Sentot
Prawirodirdjo. penampilan Slamet yang dirias mirip kompeni Belanda dan
aksen yang mencirikan, memang tidak mengecewakan, apalagi aktingnya yang
tetap prima.
Di film keduanya, Slamet mulai bertemu dan beradu akting dengan lawan main abadinya, aktris tangguh Christine Hakim yang memulai debutnya di Cinta Pertama (1973). Bersama Christine, menjadi pasangan kasmaran dan melakukan kawin lari karena persoalan yang menghadang cinta mereka. Film legenda ini membuat Christine menjadi aktris terbaik FFI 1974 sekaligus menjadi jalan pembuka Christine ke dunia film. Slamet pun meraih predikat Runner Up 4 Aktor Terbaik pada FFI 1974.
Dalam film dengan ensemble cast ini, ada pemain yang permainannya menonjol, ada yang biasa saja. Yang bermain jempol, seperti Slamet Rahardjo Djarot. Slamet
tahu persis tuntutan tokoh yang diperankannya, dan dia bisa masuk ke
dalam tokoh itu. Slamet tampil sebagai seorang pengacara yang idealis, walau terlihat mendongkolkan. Dengan segala daya dia berjuang untuk
kemenangan Sora (Zoraya Perucha), karena dia melihat persoalannya secara jernih, dan Sora
memang tidak bersalah. Penampilan Slamet sebagai Singgih, pantas untuk diunggulkan mendapat nominasi FFI 1988, selain Cok Simbara.
6. Tjoet Nja' Dhien (Eros Djarot, 1987) - sebagai Teuku Umar
Memerankan Teuku Umar, Pahlawan sekaligus suami kedua Tjoet Nja Dhien. Tak salah untuk memilih Slamet memerankan karakter ini, karena begitu maksimalnya peran yang dibawakan, dan sangatlah pantas nominasi FFI 1988 untuk pemeran pembantu pria yang didapatnya. Sampai saat ini, Slamet adalah contoh aktor sejati yang patut dicontoh oleh para aktor muda dan para calon aktor.
5. Badai Pasti Berlalu (Teguh Karya, 1977) - sebagai Helmy
Ini peran antagonis pertama yang dimainkan Slamet dalam film. Box Office dari Teguh Karya ini menempatkan Slamet sebagai pemeran utama yang antagonis dan penyebab konflik dalam film drama legendaris ini. Berakting bersama lawan main abadi, Christine Hakim, Slamet menjadi sosok Helmy yang licik, dan pendendam. Peranannya ini katanya diunggulkan oleh dewan juri FFI 1978 untuk Aktor Terbaik, namun kalah oleh Kaharuddin Syah. Ketika remake film ini tahun 2007, Slamet menjadi papa Siska, yang tahun 1977 diperankan aktor senior Rachmat Hidayat.
4. Kawin Lari (Teguh Karya, 1975) - sebagai Jaka
Berperan dalam film dark comedy seperti Kawin Lari, merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi pemain, termasuk Slamet Rahardjo, karena film bertema ini memang masih agak jarang. Slamet dapat mengimbangi permainan Christine yang disini menjadi gadis pemalu yang mencintainya, namun dihalangi oleh ibunya (Tuti Indra Malaon) yang dominan dan masih menyimpan dendam pada ibunya Slamet. Setelah melihat akting di film Ranjang Pengantin yang begitu memikat, penampilan Slamet di Kawin Lari semakin menguatkan karakter dia sebagai aktor muda dengan modal kualitas akting.
Melalui karakter Hasan yang kharismatik ini, Slamet kembali meraih Piala Citra untuk aktor terbaik. Berpasangan dengan Christine Hakim, lawan main abadinya, chemistry antara Slamet dan Christine dalam film drama rumah tangga ini tak perlu diragukan lagi. Teguh Karya menjadikan Hasan dan Nurlela, yang diperankan mereka berdua menjadi karakter pasutri yang benar-benar 'real' atau nyata dalam kehidupan ini. Mungkin Dibalik Kelambu adalah salah satu film drama yang mengupas habis tentang polemik kehidupan pasangan suami istri muda yang terbaik, dan juga salah satu penampilan terbaik Slamet dalam sepanjang karir keaktorannya.
Menjadi multi peran dalam film garapannya, memang bukanlah hal yang mudah. Slamet memainkan banyak peranan, dari sutradara, penulis cerita dan naskah sampai menjadi Kodrat, sang karakter utama. Slamet membuat film ini menjadi film gangster yang menarik untuk ditonton, dan mulai berkompromi dengan selera pasar, tanpa meninggalkan hal kualitas penggarapan. Bermain bersama dua aktris cantik, Anna Tairas dan ida Iasha (debut) dan berhasil mengarahkan mereka, sehingga tampil tidak begitu mengecewakan. Kodrat adalah karakter utama yang digambarkan jahat (perampok) namun memiliki hati nurani. Karyanya ini patut diacungi jempol, dan aktingnya pastinya mendapat nominasi Piala Citra, namun harus diungguli oleh Deddy Mizwar sebagai Naga Bonar.
Melalui karakter Hasan yang kharismatik ini, Slamet kembali meraih Piala Citra untuk aktor terbaik. Berpasangan dengan Christine Hakim, lawan main abadinya, chemistry antara Slamet dan Christine dalam film drama rumah tangga ini tak perlu diragukan lagi. Teguh Karya menjadikan Hasan dan Nurlela, yang diperankan mereka berdua menjadi karakter pasutri yang benar-benar 'real' atau nyata dalam kehidupan ini. Mungkin Dibalik Kelambu adalah salah satu film drama yang mengupas habis tentang polemik kehidupan pasangan suami istri muda yang terbaik, dan juga salah satu penampilan terbaik Slamet dalam sepanjang karir keaktorannya.
Menjadi multi peran dalam film garapannya, memang bukanlah hal yang mudah. Slamet memainkan banyak peranan, dari sutradara, penulis cerita dan naskah sampai menjadi Kodrat, sang karakter utama. Slamet membuat film ini menjadi film gangster yang menarik untuk ditonton, dan mulai berkompromi dengan selera pasar, tanpa meninggalkan hal kualitas penggarapan. Bermain bersama dua aktris cantik, Anna Tairas dan ida Iasha (debut) dan berhasil mengarahkan mereka, sehingga tampil tidak begitu mengecewakan. Kodrat adalah karakter utama yang digambarkan jahat (perampok) namun memiliki hati nurani. Karyanya ini patut diacungi jempol, dan aktingnya pastinya mendapat nominasi Piala Citra, namun harus diungguli oleh Deddy Mizwar sebagai Naga Bonar.
Penampilan Slamet dalam film ini sungguh berkesan dan mengharukan di ujung film. Ranjang pengantin yang bertemakan kegetiran dalam sebuah mahligai perkawinan juga berakhir dengan muram, dan nasib malang yang menimpa Slamet sebagai Bram yang tak kuat menanggung beban keluarga nya serta penyakit yang perlahan-lahan membunuhnya. Bram digambarkan sebagai seorang suami yang memendam semua persoalan, permasalahan antara kakaknya (Mieke Wijaya) dengan istrinya (Lenny Marlina), dan masalah lain yang menghimpitnya. Tak mudah memerankan karakter Bram, dan Slamet berhasil menaklukannya. Gelar Aktor Terbaik FFI diraih, dan Slamet menjadi sedikit dari aktor muda (saat itu) yang tidak begitu banyak muncul, selektif memilih peran dan tentunya berkualitas dalam berakting.
Sebagai SUTRADARA
Marsinah (Cry Justice) (2000) - Sutradara, Penata skrip
Untuk pertama kalinya, Slamet membuat film berdasarkan true story. Film yang
mengangkat perjuangan tokoh buruh wanita asal Nganjuk, Marsinah, dengan durasi pemutaran sekitar 115 menit itu memaparkan kronologis terjadinya peristiwa yang
menyebabkan buruh PT CPS Porong, Sidoarjo itu tewas. Semua adegan dibuat berdasarkan peristiwa aslinya yang didapat melalui studi kepustakan yaitu pengumpulan bahan dari koran dan majalah, testimoni pelaku, keterangan pihak keluarga
dan data-data pendukung lainnya. Banyak kendala yang dihadapi oleh Slamet dalam mendistribusikan film ini secara luas, bahkan film dengan tajuk Marsinah (Cry Justice) ini peredarannya sempat ditunda atas permintaan Jacob Nuwa Wea, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi era Presiden Megawati Soekarnoputri, dan jacob mengusulkan agar judulnya diganti menajdi Mutiari, tetapi dengan tegas ditolak Slamet. Walau kurang sukses secara komersial, tapi film Marsinah mendapat pujian kritikus, mendapat banyak nominasi di FFI 2004 dan menang Piala Citra untuk Artistik Terbaik.
mengangkat perjuangan tokoh buruh wanita asal Nganjuk, Marsinah, dengan durasi pemutaran sekitar 115 menit itu memaparkan kronologis terjadinya peristiwa yang
menyebabkan buruh PT CPS Porong, Sidoarjo itu tewas. Semua adegan dibuat berdasarkan peristiwa aslinya yang didapat melalui studi kepustakan yaitu pengumpulan bahan dari koran dan majalah, testimoni pelaku, keterangan pihak keluarga
dan data-data pendukung lainnya. Banyak kendala yang dihadapi oleh Slamet dalam mendistribusikan film ini secara luas, bahkan film dengan tajuk Marsinah (Cry Justice) ini peredarannya sempat ditunda atas permintaan Jacob Nuwa Wea, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi era Presiden Megawati Soekarnoputri, dan jacob mengusulkan agar judulnya diganti menajdi Mutiari, tetapi dengan tegas ditolak Slamet. Walau kurang sukses secara komersial, tapi film Marsinah mendapat pujian kritikus, mendapat banyak nominasi di FFI 2004 dan menang Piala Citra untuk Artistik Terbaik.
Film Televisi yang dibuat berdasarkan pesanan BKKBN tentang fenomena ibu mati saat melahirkan, menampilkan Nani Somanegara, Bagus Santosa, Yusie dan Titi DJ. yang terakhir ini, bermain mencuri perhatian dan menjadi penyegar di FTV ini. Penampilan Titi yang mengesankan dan menunjukkan kalau dia memang punya bakat akting, diunggulkan Piala Vidia FSI 1997 untuk pemeran pembantu wanita (drama). Selain Slamet, Teguh Karya dan Garin Nugroho juga membuat FTV dengan tema serupa.
Anak Hilang (1992) - FTV
Ketika Dunia pertelevisian mulai marak, dan sinetron juga mulai tumbuh subur, para sineas film yang telah makan asam garam, juga membuat beberapa produk film untuk medium televisi, tak terkecuali Slamet Rahardjo. Slamet membuat FTV berjudul "Anak Hilang" yang memiliki naskah yang kuat, dan didukung para pemain handal, Aspar Paturusi dan Roldiah Matulessy. "Anak Hilang" meraih Piala Vidia 1992 untuk Aktor Terbaik.
Setelah 8 tahun vakum membuat film layar lebar, tahun 1997, Slamet mulai membuat film Telegram, hasil tulisan naskah dari Putu Wijaya. Ceritanya yang terbilang absurd, dan masih menggunakan idiom-idiom, masih mencirikan film karya Slamet. Penampilan Sudjiwo Tedjo dan Ayu Azhari sebagai pemeran utama, menarik perhatian film yang juga dibiayai pihak Prancis ini. Bahkan, sebuah kejutan, Ayu mendapat predikat Aktris Terbaik pada Festival Film Asia Pasifik, ini juga merupakan pencapaian bagi seorang Ayu Azhari.
Langitku Rumahku (1989) - Sutradara, Penata skrip
Langitku Rumahku adalah film
karya Slamet Rahardjo tahun 1989, yang bercerita tentang persahabatan
Andri dan Gempol. Andri adalah anak orang kaya, sebaliknya, Gempol berasal dari keluarga pemulung. Mereka bersahabat dan berpetualang bersama, yang dilakukan keduanya dari Jakarta hingga jalanan di
Surabaya.
Slamet Rahardjo merendam setiap
konflik ceritanya ke dalam kenaifan anak-anak. Seberat apapun
masalahnya, dunia selalu dilihat secara naif dan polos. “Selama ada langit, kamu tidak perlu menangis. Kita masih punya rumah. Rumah kita luas. Langit kita, rumah kita", quote yang berkesan dala film ini. Slamet juga menyisipkan sindiran-sindiran terhadap pesatnya pembangunan dan penggusuran yang terjadi saat itu. Langkah Slamet dalam membuat film bertema anak-anak dapat dikatakan sukses, dan semakin memantapkan Slamet sebagai sutradara film handal. Langitku Rumahku dimainkan oleh keponakan Slamet sendiri, Banyu Biru. Lalu ada Soenaryo, Pietrajaya Burnama, Suparmi dan meraih sejumlah nominasi FFI 1990, Festival Film Bandung, dan meraih penghargaan di Festival Film Nantes.
Setelah Kodrat, Slamet mulai menjelajah tema kehidupan rumah tangga dan pentingnya sebuah keperawanan bagi pasutri. Slamet dalam Kasmaran tidak jauh berbeda dengan karyanya terdahulu. Kasmaran masih memperlihatkan sosok Slamet sebagai sutradara yang rumit dengan menggunakan idiom-idiom bahasa gambarnya sebagai cerita sekaligus perlambang, simbol-simbol. Kembali memasang Ida Iasha sebagai pemeran utama wanita, Kasmaran semakin menjadi film yang unik dan menarik, dimana film ini adalah bentuk kompromi Slamet dengan pasar, meskipun kualitas tetap menjadi hal utama. Kasmaran meraih 6 nominasi FFI 1988, termasuk akting Ira Wibowo dalam film ini yang menuai banyak pujian.
Slamet berhasil menemukan seorang bintang film baru yang menjadi idola, yaitu Ida Iasha. Selain menjadi debut Ida, Slamet juga berhasil mengarahkan Anna Tairas yang bermain cukup bagus setelah sebelumnya lebih banyak bermain di film-film 'underdog'. Setelah bermain di jalur drama 'serius', Slamet mulai dengan tema yang lebih 'bisa diterima' namun tetap dengan penggarapan yang serius, inilah kenapa Kodrat menjadi film yang patut diperhitungkan. Kodrat merupakan film gangster yang saat itu cukup jarang diangkat, dan Slamet bertindak sebagai penulis cerita, skenario, sutradara sekaligus menjadi Kodrat, sang pemeran utama. Gaya penyutradaraan Slamet Rahardjo yang dapat mengarahkan setiap pemain dengan cukup baik, dan berhasil mengeksekusi konsep ke dalam visual yang baik bagi penonton bioskop, rasanya memang pantas diganjar Piala Citra untuk Sutradara Terbaik FFI 1987, selain nominasi Film Terbaik dan 8 nominasi lain.
Kembang Kertas (1984) - Sutradara
Di film karya keempatnya ini, Slamet terlihat semakin matang dalam menggarap film. Setelah sebelumnya membuat Ponirah Terpidana (1983) yang berkualitas baik. Slamet dapat memepertahankan idealismenya, dari mulai mengarahkan pemain, segi artistik penunjang film serta dapat menerjemahkan ide cerita ke dalam bahasa visual yang baik. Hasilnya, pada FFI 1985, Slamet dapat mengungguli gurunya, Teguh Karya untuk dua film sekaligus, serta Sjuman Djaya sebagai sutradara terbaik. Melalui Kembang Kertas, Slamet berbicara tentang pentingnya arti sebuah keluarga.
JB Kristanto mengatakan, setiap film Slamet Rahardjo adalah sebuah peristiwa. Pernyataan Pak JB, saya setuju. "Ponirah Terpidana" bercerita tentang Ponirah (Nani Vidia), seorang
gadis yang sejak kecil dianggap oleh bapaknya, Djabarudi (Bambang
Hermanto), sebagai pembawa sial, karena ia dianggap berkontribusi atas
kematian ibunya dan kakak kandungnya. Besar di bawah asuran Trindhil
(Christine Hakim), babu di rumahnya yang kemudian menjadi seorang
pelacur, Ponirah tumbuh bersama perasaan bersalah akibat stigma yang
ditanamkan bapaknya. Dan, rasa bersalah itulah yang kemudian membawanya
pergi ke Jakarta mengikuti bajingan pengecut merangkap germo bernama
Jarkasi (Ray Sahetapy), meninggalkan Trindil yang telah renta dan putus
asa sekaligus menghindari sang paman, Guntoro (Richie Richardo
dan Slamet Rahardjo), yang tak memiliki tujuan hidup selain membuntuti
keponakannya. Cita-citanya besar, menjadi pelacur paling mahal di dunia, da tujuannya jelas, yaitu menuntaskan rasa bersalahnya dengan membalas dendam
kepada seisi dunia. Secara cerita dan penyutradaraan, Ponirah Terpidana amat kaya dengan detail. Terlihat dari unsur-unsur Jawa dengan amat pas muncul. Suasana suburban di Solo dan Jogja
juga tampil dengan mempesona. Terkhusus lokalisasi, dalam
sejarah film kita yang banyak mengangkat tema atau tokoh pelacur,
penggambarannya dalam Ponirah Terpidana adalah salah satu yang paling
meyakinkan. Ponirah Terpidana juga banyak terdapatironi, di sini juga ada.
Hengky Solaiman, aktor kondang yang juga ambil bagian dalam film ini,
dicatut sebagai nama pelanggan wiwik yang ke-400, lengkap dengan
olok-oloknya. Lalu, puisi Chairil Anwar yang berkumandang di tempat
mesum itu. Ini adalah film kedua Slamet yang menyelipkan cerita dan set lokalisasi, setelah "Rembulan dan Matahari"(1979).
Para pemeran bermain sangat baik. Bambang Hermanto sempurna sebagai laki-laki ringkih. Christine Hakim juga sangat pantas meraih Citra FFI untuk Aktris Terbaik. Demikian juga Ray Sahetapy sebagai Jarkasi, si germo berkedok pangeran itu, dengan sangat pas dimainkannya.
Para pemeran bermain sangat baik. Bambang Hermanto sempurna sebagai laki-laki ringkih. Christine Hakim juga sangat pantas meraih Citra FFI untuk Aktris Terbaik. Demikian juga Ray Sahetapy sebagai Jarkasi, si germo berkedok pangeran itu, dengan sangat pas dimainkannya.
Seputih Hatinya Semerah Bibirnya (1980) - Sutradara, Penata skrip
Untuk film kedua, mulai dipahami dan dicerna oleh penonton. Ceritanya cukup sederhana, tentang sebuah keluarga namun didukung oleh penampilan kuat dari ensemble cast film ini, seperti Christine Hakim, Marlia Hardi, Menzano, Dyan Hasri, El Manik, dll. Sayang, hanya mendapat 1 nominasi di FFI 1981.
Untuk film kedua, mulai dipahami dan dicerna oleh penonton. Ceritanya cukup sederhana, tentang sebuah keluarga namun didukung oleh penampilan kuat dari ensemble cast film ini, seperti Christine Hakim, Marlia Hardi, Menzano, Dyan Hasri, El Manik, dll. Sayang, hanya mendapat 1 nominasi di FFI 1981.
Rembulan dan Matahari (1979) - Sutradara, Penata skrip
Debut penyutradaraan Slamet Rahardjo sebagai sutradara film, untuk film pertama, "Rembulan dan Matahari" sudah mulai mencirikan film Slamet yang penuh dengan idiom. Menggambarkan sebuah kampung di Ponorogo yang lengkap dengan suasananya, orang berdagang, berjoget dangdut sampai suasana pelacuran. Di desa, seorang Ila dibiarkan menjadi milik masyarakatnya. Ia menjadi semacam tokoh Petruk dalam pewayangan yang sering memeberikan citra hidup yang luhur dengan cara sederhana. Pelacur Paitun menyusul Wong Bagus, pacarnya, ke desa itu. Seolah ia tidak mengacaukan nilai moral yang berlaku, justru Wong bagus sendiri yang malu. Padahal ia sendiri tidak bersih. Wong bagus malah pernah menghamili Wong Ayu. Meski agak terkesan kurang dipahami, namun Slamet perlu diacungi jempol karena idealismenya dalam membuat film, terlihat dari karya pertamanya ini. Walaupun banyak kejelasan dan maksud film yang sulit ditangkap, namun dalam hal teknis, Rembulan dan Matahari mencapai kualitas dalam penggarapannya. Terbukti dengan 3 Piala Citra (Artistik, Pemeran Pembantu Pria, Pemeran Pembantu Wanita) dan debut Slamet dihargai dengan Piala KFT untuk Sutradara Terbaik kedua.
Slamet Rahardjo saat meraih penghargaan Lifetime Achievement dari Festival Film Bandung 2012