Selasa, 07 Agustus 2012

#BestOf BUCE MALAWAU


BUCE MALAWAU
Sutradara, Penulis Cerita & Skenario
Genre : Drama, Laga
Tahun Aktif : 1977 - 2012


7. GERHANA (Buce Malawau, 1985)


Karya pertama Buce Malawau sebagai seorang sutradara film, yang juga tentunya merangkap sebagai penulis cerita dan skenario. Gerhana, memiliki cerita yang cukup bagus dan mengalir dengan cukup baik. Didukung para pemain pendatang baru seperti Dolly Marten, Fanny Bauty dan penyanyi rock Sylvia Saartje, yang tampil tidak begitu mengecawakan. Sebagai debut dalam penyutradaraan, langkah Buce Malawau dalam film Gerhana cukup bisa dipertanggungjawabkan dan mengukuhkan Buce Malawau sebagai sineas potensial.

6. (TV) NOKTAH MERAH PERKAWINAN (Buce Malawau, 1996)


Di era 90-an, Noktah Merah Perkawinan pastinya menjadi tontonan yang melekat di benak penonton, pastinya karena penampilan Ayu Azhari sebagai leading actress yang tampil begitu memikat, dan berkat peran Ambar ini pula, Ayu merebut Piala Vidia untuk aktris terbaik FSI 1996. Cerita nya sendiri seputra kehidupan rumah tangga dan konfliknya serta dibumbui banyak intrik yang kompleks dari banyak karakter. Melambungkan nama Ayu Azhari, Cok Simbara, Berliana Febrianti, serta pemain cilik Niken Ayu. Karya televisi Buce Malawau ini pantas disebut sebagai salah satu drama televisi paling fenomenal yang pernah ada. 

5. CINTA ANAK JAMAN (Buce Malawau, 1988)


Cerita antara dua orang pasangan dewasa yang perilakunya masih kekanak-kanakan. Selain ceritanya yang cukup ringan dan tidak memerlukan pengurasan otak untuk berpikir, Cinta Anak Jaman juga didukung oleh para pemain yang tengah menjulang saat itu, terlebih Didi Petet yang berhasil membuat kejutan dengan memboyong Citra lewat film ini. Dalam film yang ditulis Marwan Alkatiri ini, diselipkan 'guyonan' khas yang sedang tren saat itu. Tersirat jelas bahwa film ini adalah gambaran kaum muda metropolitan saat itu. 

4. KETIKA DIA PERGI (Buce Malawau, 1990)


Dua pasangan dokter yang mengabdi dis ebuah desa yang percaya akan adat. Kehadiran dua dokter tersebut menuai banyak cobaan dari desa tersebut. Sederhana, namun cukup membuat kita merenung akan arti sebuah pengabdian. Akting dari para pemain matang seperti Asrul Zulmi, Nungki Kusumastuti dan Afrizal Anoda menambah kesan serius dari film ini. salah satu karya terbaik dari Buce Malawau.

3. BERI AKU WAKTU (Buce Malawau, 1985)


Termasuk karya yang unik, karena menampilkan kritik terhadap budaya etnis khas Maluku dan juga etnis-etnis lain. Karakter film ini berlatar dari budaya etnis Maluku yang mengalami konflik dalam keluarga, yaitu antar anak dan orangtua, dan hubungan pria Ambon dengan gadis Indo- jawa yang makin membelit persoalan film ini. Penampilan para pemain seperti Mathias Muchus, Ira Wibowo, Piet Burnama, Rina Hassim sangat cocok dengan karakter masing-masing.

2. POTRET (Buce Malawau, 1991)


Film unggulan FFI 1991 ini adalah sebuah film tentang sebuah penyesalan seorang tua yang menyia-nyiakan keluarganya. Kisah keluarga dalam film ini ditampikan sangat baik, cukup sederhana, namun karena akting yang begitu kuat dari para pemain, Potret menjadi film drama yang begitu apik. Tatanan musik dari Idris Sardi yang begitu lirih sangat mendukung jalannya cerita, Buce juga berhasil menciptakan suasana di panti jompo lengkap dengan para penguninya yang bermain wajar dan mengesankan, seperti Laila Sari. Setelah Tragedi Bintaro, Buce kembali membuktikan diri sebagai sutradara berkelas lewat film Potret. Karya Buce yang satu ini mengingatkan kita pada film-film dari Teguh Karya. 

1. TRAGEDI BINTARO (Buce Malawau, 1989)


Diadaptasi dari tragedi kisah nyata peristiwa tabrakan dua kereta api di Bintaro yang cukup menghebohkan di tahun 1987. Buce Malawau mengambil cerita dari salah satu keluarga korban yang cukup memilukan. Anak-anak korban perceraian orangtua yang tinggal bersama nenek mereka yang banting tulang menafkahi mereka. Meski tema utama tetap pada peristiwa tabrakan naas tersebut, kisah keluarga malang ini cukup membuat haru penonton, apalagi saat salah satu anak, Juned , yang selamat dari maut, namun kakinya harus diamputasi dan diakhir film tampil Juned asli, yang cukup membuat merinding. Film ini cukup membuat Buce Malawau menjadi sutradara yang cukup diperhitungkan, terbukti dengan dominasi peraihan nominasi pada FFI 1989.