Sabtu, 30 Juni 2012

#BestOf : ZORAYA PERUCHA




ZORAYA PERUCHA
Aktris, Produser
Genre: Drama, Komedi Drama
Tahun Aktif : 1983 - sekarang


8. CIA - Saat Saat Kau Berbaring Di Dadaku (Djun Saptohadi, 1984)

 
Jalan cerita film ini agak unik. Seorang wanita bernama Cia mengawini pria culun bernama Dono dengan tujuan membalas sakit hati terhadap ayahnya. Saat mereka berbulan madu di kampung halaman Dono barulah terbongkar bahwa Dono tidak mampu berbuat layaknya seorang suami. Hingga suatu saat Cia diperkosa seseorang yang ternyata pelakunya adalah Dono sendiri. Zoraya cukup tampil dominan dalam film ini, dan chemistry dengan Deddy Mizwar pun juga terlihat.

7. NURHAYATI - Tak Seindah Kasih Mama (Hasmanan, 1986)


Peran Zoraya yang mengundang derai air mata penonton. Kisah Nurhayati yang harus menitipkan ketiga anaknya ke keluarga lain karena penyakit yang dideritanya. Beruntung sekali ketiga keluarga itu baik-baik dan membuat Nur lega kemudian akhirnya meninggal dengan tenang.

6. ISTIA - Pondok Cinta (Wim Umboh, 1985)

 
 Salah satu penampilan terbaik Zoraya Perucha, dan memang drama adalah jenis film yang telah dikuasainya. Bercerita tentang Istia yang harus menjalani pernikahan yang tidak disetujui oleh keluarga suaminya. Rumah tangganya pun selalu diintervensi keluarga suaminya. Saat ia mengetahui bahwa suaminya sering main perempuan, ia juga tidak bisa minta cerai karena suaminya tidak mau. Ketika ia menemukan sosok pria lain, ia baru berusaha keras untuk lepas dari kungkungan suaminya. Sayang, sang pria baru ini meninggal karena leukimia. Peranan kompleks Zoraya mendapat apresiasi juri FFI 1986 untuk pemeran utama wanita.

5. SORA - Terang Bulan Di Tengah Hari (Chaerul Umam, 1988)


Selain menjadi pemeran utama, film ini juga karyanya sebagai produser film. Menjadi sosok wanita tegar bernama Sora, dan yang unik adalah dalam film ini, Sora diceritakan berprofesi sebagai pelatih renang, mengingat Zoraya sebelum terjun ke film, adalah seorang atlet renang yang handal. Untuk menghidupi keluarganya, Sora harus bekerja membanting tulang. Setelah suaminya mendapatkan pekerjaan maka ia berniat menjadi ibu rumah tangga. Keputusan ini membuat agennya merasa rugi dan kemudian membuat jebakan untuk Sony, suaminya. Dalam film ini, pilihan tepat bagi Zoraya dan chaerul Umam memilih para pemain yang menunjang film ini, seperti Slamet Rahardjo, Cok Simbara dan penampilan mengejutkan dari usahawan nyentrik Bob Sadino.

4. RUM - Opera Jakarta (Sjuman Djaya, 1985)


Zoraya mendapat kesempatan bermain di film terakhir dari sang maestro Sjuman Djaya. Menjadi gadis pembangkang bernama Rum, yang telah jenuh dengan konservatif keluarganya, menolak dikawinkan dan tertarik dengan petinju muda bernama Yoko (Ray Sahetapy). Banyak ensemble cast di film ini turut menunjang akting dan penampilan Zoraya menjadi tidak biasa bahkan bisa dikatakan cukup baik, sebut saja nama-nama sekelas Deddy Mizwar, Ray Sahetapy, Soekarno M Noor, Nani Widjaya, Mathias Muchus, dan lain-lain.


3. ALINE - Secawan Anggur Kebimbangan (Wim Umboh, 1986)

 
 Dalam film romantis ini, Zoraya tampil memikat. Sebagai perempuan bernama Aline, yang membesarkan anaknya dengan Prasetyo di Indonesia, bukan dengan Andre, pria yang menghamilinya saat di Paris. Namun, sekian tahun lamanya Andre menyusul ke Indonesia dan membuat Aline bingung karenanya. Akting dan chemistry para pemain di film ini begitu tercipta, menambah keromantisan film dengan latar di Paris ini. Saya rasa, pilihan dewan juri FFI 1987 untuk memasukkan Zoraya Perucha untuk calon aktris terbaik adalah pilihan yang tepat.

2. GINAH - Semua Karena Ginah (Nya' Abbas Akup, 1985)



Setelah bermain-main di jenis drama, tahun 1985 Zoraya bermain komedi satir dari maestro komedi satir alm. Nya Abbas Akup. Menjadi penjual jamu bernama Ginah, seorang penjual jamu gendong yang banyak diidolai pria tiba-tiba menjadi terkenal karena menjadi model sebuah perusahaan jamu. Namun bukan kebahagiaan yang ia dapat, malah keresahan. Yang paling berkesan adalah teriakan Ginah dengan medok, sebagai tukang jamu untuk promosi jamunya "Gondosari! Gondosari! jamu rasa Strawberry!"

1. SITA - Yang Terlarang Yang Tersayang (Ami Prijono, 1983)


Debut perdana Zoraya Perucha di dunia film. Langkah pertamanya di film terbilang bagus. Langsung di direct sutradara ternama dan berkualitas seperti Ami Prijono, dan di film ini Zoraya langsung mendapat unggulan FFI untuk aktris terbaik, dan juga mendapat penghargaan khusus untuk pendatang baru terbaik. Peran pertamanya sebagai Sita, seorang hostes yang menjalin hubungan dengan pemuda mahasiswa yang usianya jauh lebih muda darinya. Hubungan terlarang yangditentang orangtua pemuda itu membuat mereka nekat untuk hidup bersama tanpa ikatan nikah. Sita berkorban apa saja sehingga pemuda itu lulus kuliah, dan pengorbanan Sita dibalas dengan hinaan dari keluarga pemuda itu. Untuk penampilan pertama kali di film, sebagai pemeran utama pula, Zoraya tidak mengecewakan, dan setelah itu Zoraya Perucha menjadi aktris yang produktif dengan membintangi sejumlah film dan disutradarai para sutradara handal seperti Sjuman Djaya, dan Wim Umboh, namanya pun sejajar dengan Christine Hakim, Jenny Rachman, Meriam Bellina sebagai primadona film era 80-an.



Jumat, 29 Juni 2012

Review Film "CINTA DALAM SEPOTONG ROTI" (1990); Manis, Puitis, Sederhana dengan greget visual yang kuat


CINTA DALAM SEPOTONG ROTI
(Garin Nugroho, 1990)
Genre : Drama


Produksi : PT. Prasidi Teta Film dan PT. Eranusa Film
Sutradara : Garin Nugroho
Cerita / Skenario : Garin Nugroho
Penata Kamera : M. Soleh Ruslani
Penyunting Gambar : Arturo GP
Penata Musik : Dwiki Dharmawan
Penata Suara : S Edi Pramono
Penata Artistik : Sapto Busono

Pemeran

Tio Pakusadewo -sebagai- Topan
Cut Rizky Erzet Theo -sebagai- Mayang
Alm. Adjie Massaid -sebagai- Harris

Prestasi

Film Terbaik FFI 1991
Tata Musik Terbaik FFI 1991
Tata Kamera Terbaik FFI 1991
Tata Artistik Terbaik FFI 1991
Film Terlaris FFI 1991 (Piala Antemas)
Penghargaan Festival Film Asia Pasifik 1992 untuk Sutradara Pendatang Baru Terbaik
Nominasi Cerita FFI 1991
Nominasi Tata Suara FFI 1991
Nominasi Sutradara FFI 1991


Review

Cinta Dalam Sepotong Roti, film pertama Garin Nugroho, sebuah film yang baru pada saat itu, bukan dalam pengetian semantik, melainkan lebih sebagai warna lain. Seolah belum pernah kita lihat dalam perfilman nasional sebelumnya. Dari introduction yang dibanunnya, dari pemilihan judul, kita dihadapkan pada irama platonis. Penuh simbol. Penuh puisi. Juga kata-kata gagah, serta gaya ungkap personal yang pekat. Garin Nugroho mengingatkan kita pada sutradara Hollywood, Adrian Lynne, yang membuat film-film seperti Fatal Attraction, Flash Dance, 9 1/2 Week, dan lain-lain. Garin sebagai Adrian Lynne berbicara dari sisi-sisi personal. Pertemuan dua manusia, yang menghindari tokoh dan tema besar, rumit serta butuh perenungan. Trend yang muncul di kota, adalah tema-tema ringan, manis, sederhana namun dengan greget visual yang kuat. Seniman yang baik memerlukan kepekaaan, untuk bisa menangkap gejala psikologis dan sosiologis masyarakatnya, untuk siapa ia berkarya. Garin agaknya tahu akan hal itu. Masyarakat kota, sasaran utama CDSR, adalah masyarakat yang sudah lelah. Apalagi untuk meenungkan lingkungannya. Mereka menghindari hal-hal besar, rumit serta tak butuh perenungan. Manusia kota butuh bercermin, butuh penjelajahan psikologis atau petualangan. Ini bisa dilihat dalam alur CDSR yang sederhana. Dngan karakter khas manusia Indonesia, yang hadir di tengah deru industrialisasi seperti Mayang, Harris dan Topan.

Mereka bertiga, potret profesional muda saat itu, yang menjamur bersama tumbuhnya ekonomi Indonesia. latar belakang kita, dengan sendirinya akan secara khas mewarnai problematika kehidupan, kepada siapa film ini ditunjukkan oleh Garin Nugroho. Latar belakang Garin, cukup mewarnai konsep visual sutradaranya. Apalagi latar akademisnya, dari jurusan sinematografi IKJ. bahasa gambar, sebagaimana sejak awal dibangun, menjadi pertimbangan utamanya. CDSR akhirnya menjadi film yang mengandung eksotisme, gengsi tersendiri untuk ditonton. Isu yang dilemparkannya, cukup cerdas dalam menyiasati pasar. kegelisahan Garin sebagai sutradara muda kala itu, mendapat dua tuntutan sekaligus dari sisi komersial dan artistik. Film ini, sebagaimana tontonan masyarakat kota, membungkus erotisme dalam kemasan visual yang tidak murahan. Bahwa kerangka cerita dan kerangka karakter tokoh, dipercaya mampu mengangkat tema dan alur yang sederhana. penjelajahan psikologis, seperti agresivitas cinta Mayang atau kecemburuan Harris yang puritan dan akibat-akibat tragisnya, mendapatkan muara. 

Rumah tangga Harris-Mayang, berjalan kurang mulus. Harris karena mengetahui penyelewengan seksual ibunya, mengalami trauma seksual, ketika dan setiap hendak berhubungan dengan istrinya. Karena persoalan dirasa makin gawat, mereka berdua bersepakat mengadakan liburan ke Bali. Namun kehadiran topan, sahabat mereka sejak kecil, membuat persoalan menjadi lain. Topan yang hendak mengadakan pemotretan di Lombok, menyetujui ajakan mereka karena ketinggalan kereta, menumpang mobil Harris-Mayang. Meski 'hanya' sampai Banyuwangi, kehadiran Topan adalah pemicu dari persoalan rumah tangga Harris-Mayang menjadi semakin gawat. Hubungan segitiga pun muncul kembali. Sejak semula, Topan dan Harris, memang sama-sama mencintai Mayang. haya masalahnya menjadi lain, ketika Harris menyatakan cintanya, dan mengukuhkan dalam perkawinan, Topan berada di luarnya. Justru dalam perjalanan itu, penjelajahan psikologis Mayang merasa terpenuhi oleh sosok Topan. Mereka mempunyai banyak kesamaan dalam selera dan citarasa. Sedangkan Harris, tak cukup mampu memberi mimpi-mimpi pada Mayang. 

Dari sini, meinggalkan bagian satu, yang diberi judul 'Ikutlah Angin', CDSR masuk ke 'gigi' dua, dalam irama konflik yang lebih kencang pada 'Tunduklah Angin Datang'. Dari banyak kesamaan, lewat puisi, lewat sepotong roti dengan selai arbei, simbol-simbol Mayang dan Topan mencoba saling menangkap. Namun melewati 'gigi' tiga, dalam bagian 'Sebuah Awal', kita sudah tahu, judul ini menyiratkan arah menurun. Garin mungkin ingin berkata, masyarakat kota tak perlu renungan. Untuk merenungkan, barangkali, masyarakat kotatak punya waktu. Topan dan Mayang hanya bisa berkeluh kesah. Bahwa manusia bisa sering salah pilih, terlambat untuk datang. Sehingga ketika semuanya telah terjadi, memang harus diterima. Jam tidak bisa ditark mundur. Jika sampai pada sebuah awal, yang dimaksudkan adalah perlunya interpretasi baru. Pemahaman, penyadaran dari peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi, itu yang lebih penting. 

Kita melihat sebuah pemdatan cermat dalam pengolahan konflik. Perjalanan Jakarta-Banyuwangi semobil bertiga dengan sisi personal berbeda, menjanjikan banyak hal. Paling tidak, dari perjalanan piknik ini, suasana gambar ilustratif dana panoramik jelas dimungkinkan. Garin Nugroho agaknya ingin membebeaskan diri dari ruang dan waktu. Dalam kisah ini, menjadi tidak penting kapan dan dimana. Mayang dalam perjalanan itu, tetap menjalankan tugasnya, selaku pengasuh rubrik konsultasi keluarga pada sebuah majalah wanita. Ini sebuah teknik pemadatan dalam penglolaan konflik secara cerdik, penajaman ironisme, makin tersa substil. Apalagi kecermatan Garin membuat CDSR sebagai karya film yang layak dinikmati. Dengan naskah skenario yang ditulisnya sendiri, Garin makin jelas terlihat. idiomatika gambar yang disajikannya, boleh dibilang berani dalam menyodorkan cara bertutur gaya lain. Bukan hanya kerapnya simbol-simbol muncul dalam frame, melainkan juga ia banyak membiarkan kamera diam di tempat. pemain diberinya keleluasaan bergerak. Tentu saja perlu kerjasama yang baik antara sutradara, penata kamera, dan editor. M Soleh Ruslani sebagai juuru kamera agaknya mampu mengimbangi Garin. Pengalaman kerja samanya dengan Slamet rahardjo, bahkan dalam film Kodrat, Ruslani meraih Piala Citra FFI 1987 untuk tata kamera terbaik. Ia tentu punya pengaruh dalam wawasan estetikanya. Ruslan begitu berani dengan gambar-gambar diam. Dalam beberapa adegan, Arturo GP, selaku penyunting gambar, mengimbanginya dengan kreatif editing. Editing memang bukan hanya sekedar cutter. Apalagi dalam proses sebuah film, bagian ini menjadi utama dalam struktur film. Kekuatan naratif film, antara lain ditentukan disini. Dari sini terlihat trio Garin, Ruslani, dan Arturo kompak. Ritme platonis, dengan pengadeganan cenderung lamban, memberikan keleluasaan dalam eksplorasi psikologis bagi Mayang, Harris, dan bahkan penonton.



Latar belakang Garin, sebagai sutradara film-film dokumenter, begitu akomodatif menampung kreatifitas. Apalagi CDSR banyak merekam gambar, tapi tetap dalam fungsinya sebagai ilustrasi. Ada banyak ilustrasi disampaikan dalam simbol-simbol, baik sebagai boneka-boneka, mainan anak-anak, pesawat terbang dari kertas, kue serabi, kerupuk, lori yang mengangkut tebu. Begitu banyaknya simbol-simbol itu. Lihat juga gemericik air sungai, semilir angin pegunungan, dedaunan, hamparan rumput, hujan atau kepulan debu dalam lintasan mobil. Film ini memang sarat dengan bahasa gambar. Namun ketika gambar-gambar puitis itu dihias dengan kata-kata puitis, kadang gagah, sering terjasi anakronisme dlaam karakter tokoh. Topan selaku fotografer free lance itu, kita tahu gemar roti dengan selai srikaya nya, tapi dikejar keinginan omong gagah, Topan bisa berkata "Aku tak mau memotret sarung, sementara dibaliknya ada celana jeans" atau mungkin, anakronisme ini khas generasi Topan di awal 90-an itu. Harus diakui, Garin pandai dalam bahasa gambar. Ketika Mayang tergores jarinya, Topan dengan sigap mengulum jari yang terluka itu, agar darahnya berjenti mengucur., sungguh amat puitis. Begitu juga ketika Mayang terpeleset di sungai, Topan kemudian menolongnya, membopong Mayang ke gubung kosong. Tampaknya, adegan ini akan menjadi klise. Dalam hujan deras, dua manusia, laki-laki dan perempuan, di gubug kosong. tapi ternyata Topan hanya mengusap tubuh Mayang yang kotor, dengan tissu pembersih kameranya. 

Garin masih dalam tingkat kreatifnya yang wajar. ia toh berhasil banyak dalam memberikan paduan adegan yang menyentuh. Kita lihat juga, bagaimana kerjasamanya Dwiki Dharmawan selaku penata musiknya. Saat Mayang dan Harris berada dalam kamar, Topan berada di luar. Dalam hujam, Topan memainkan harmonika di atas komidi putar. Pelan tapi menyayat, terdengar irama blues mengiring adegan itu. Begitu melarutkan hati dan berkesan. Dwiki, pemusik jazz dari Krakatau ini, mampu memberikan aksentuasi. ia juga bisa menahan diri, untuk tidak terus menerus masuk. Pilihan pada orkestrasi klasik, membuat Garin memilih Dwiki, bukan Idris Sardi. Siasat yang jitu. Dewan juri FFI 1991 jeli, menilai Dwiki lah yang berhak menerima Citra untuk penata musik terbaik FFI 1991. Namun dalam soal pemeranan, Garin terlalu banyak ambil resiko. Apalagi Rizky Erzet Theo dan Alm. Adjie Massaid, tak mampu menjaga staminanya. Pemeran Mayang dan Harris ini, kurang mampu menguaai emosi. Kelemahan elementer ini, terletak pada kapasitas aktingnya. Itu terjadi juga pada Tio Pakusadewo. Tapi karakter Topan, yang gagah dan spontan, masih dikenal Tio. 

Secara garis besar, karya perdana Garin Nugroho mempunyai beberapa keistimewaan yang patut ditonjolkan. Sangatlah pantas film ini ditempatkan sebagai film terbaik FFI 1991 ditambah dengan meraih Citra untuk segi-segi teknis lainnya. Kehadiran Garin Nugroho di industri perfilman Indonesia, mejadi fenomena menarik bagi perjuangan kita menegakkan gengsi perfilman nasional. Setelah era Teguh Karya, Arifin C Noer, Wim Umboh, Sjuman Djaya, lalu muncul seorang Garin Nugroho yang mmeiliki potensi yang sangat besar. Hal ini terbukti, dengan konsistensi Garin Nugroho, setelah film Cinta Dalam Sepotong Roti, menghasilkan karya-karya berkualitas dan juga membawa nama Indonesia ke kancah internasional.


Trivia

Film ini dapat diakses dari Sinematek Indonesia

Selasa, 26 Juni 2012

#BestOf JAJANG C NOER





JAJANG C NOER
Aktris, Sutradara
Genre : Drama
Tahun Aktif : 1977 - sekarang

Quote :
"Percaya pada diri sendiri, apapun risikonya, kesulitannya, dan konsekuensinya"


1. MBAK YANI - Bibir Mer (Arifin C Noer, 1991)



Penampilan terbaik Jajang C Noer sebagai aktris film juga dapat kita lihat di film Bibir Mer, karya bioskop terakhir suaminya, Arifin C Noer. Jajang C Noer mendapatkan peran Mbak Yani setelah Titiek Puspa dan Widyawati menolaknya karena suatu hal. Ketika Arifin C Noer berpikir untuk Tatiek Wardiono yang memerankan, Jajang pun berinisiatif menawarkan diri, dan akhirnya dia dapat peran itu. Dan keberuntungan itu berlajut dengan kemenangannya meraih Piala Citra di FFI 1992. Karakter Mbak Yani sendiri, adalah pemilik salon yang berusia setengah baya, memiliki hubungan sangat luas di kalangan atas. Ia menaruh perhatian lebih pada karyawati salonnya, Maria atau Maryati (Bella Esperance), yang sebenarnya adalah anaknya dengan seorang pengusaha. 

2. BUNDA - Eliana Eliana (Riri Riza, 2002)


Di awal kebangkitan perfilman Indonesia di awal 2000-an, Jajang C Noer termasuk aktris yang produktif dengan bermain di film-film berkarakter. Salah satunya Eliana, Eliana. Dalam film arahan Riri Riza ini, Jajang bermain gemilang sebagai Bunda yang datang ke Jakarta menyusul anaknya, Eliana (Rachel Maryam), dan mengajak Eliana untuk kembali ke Padang bersamanya. Bunda selanjutnya terlibat dalam masalah yang dihadapi Eliana di Jakarta, dan perjalanan ibu dan anak ini memberikan penjelasan secara sendirinya tentang hubungan mereka dan membuat mereka saling memahami dan mengerti. Dalam film ini, Jajang memberikan empat bentuk kemarahan yang ditampilkan oleh karakter Bunda. Empat bentuk itu, Jajang mengeluarkan kemarahan dengan teriak, ada juga kemarahan yang tertahan, dan kemarahan yang ditampilkan dengan ekspresi dingin, Semua berhasil dieksekusi Jajang C Noer dan membuat karakter Bunda sebagai manusia yang utuh. Permainannya ini membuatnya menang di ajang Cinefan Film Award 2002, kemudian Jajang dan Rachel menjadi pasangan aktris terbaik di Deauville Asian Film Fetival di Prancis tahun 2003, dan nominasi aktris terbaik FFI 2004.

3. dr. KARTINI - 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita (Robby Ertanto Soediskam, 2010)


Jajang C Noer berperan sebagai dr. Kartini, ia adalah seorang ginekolog yang bertugas di sebuah rumah sakit. Dalam praktiknya, Kartini juga melakukan pendekatan emosional kepada pasienya sehingga pasien-pasiennya merasa nyaman. Di antara pasien-pasiennya ada enam orang wanita dengan permasalahannya masing-masing. Selain bersinggungan dengan pasien-pasienya, dr. Kartini pun harus berjuang mengatasi masa lalunya dan dr. Anton ( Hengky Solaiman). Namun, perlahan-lahan, jalan takdir menentukan bahwa setiap karakter-karakter tersebut ternyata saling berhubungan dan mempengaruhi. Juga mempengaruhi pandangan Kartini tentang arti cinta dan bagaimana seharusnya wanita menyikapi hidupnya. Karakter dr. Kartini disini cukup sulit dan memberi tantangan kepada Jajang C Noer untuk dapat memberikan yang terbaik. Ternyata hasilnya tak mengecewakan. Peran dr. Kartini yang diperankan Jajang C Noer membawanya masuk ke deretan calon aktris terbaik di berbagai ajang penghargaan film tanah air tahun 2010.


4. dr. SALMA - Berbagi Suami (Nia Dinata, 2006)



Peran yang berbeda untuk Jajang, seorang perempuan yang dimadu oleh suaminya. Salma, seorang dokter kandungan memiliki seorang suami, Pak Haji (El Manik) yang menikahi perempuan-perempuan lain, dan Salma menerima nasibnya meski berat ia alami, karena Nadim (Winky Wiryawan) anak semata wayangnya yang menjadi alasana bagi Salma untuk bertahan dengan kehidupan poligami. Sebuah film yang mengangkat tema berbeda, dan terdiri dari 3 bagian kehidpan poligami yang terjadi di masyarakat kita. 
Jajang cukup dapat memerankan Salma dengan baik dan lumayan menjadi magnet untuk film ini. Dia berhasil menciptakan karakter Salma yang selalu memendam perasaannya dan seorang istri yang 'manut' pada suaminya, dan satu hal lagi, Salma menggunakan kerudung (jilbab), memberikan pengalaman dan tantangan baru bagi Jajang C Noer.

5. ASIMAH - Mata Tertutup (Garin Nugroho, 2012)


Asimah (Jajang C. Noer) seorang ibu yang kebingungan setelah anaknya, Aini diculik oleh sekelompok orang yang tergabung dalam organisasi Islam fundamental. Setelah mencari informasi sana sini, akhirnya Asimah pun tahu, ternyata anaknya telah direkrut untuk menjadi simpatisan NII (Negara Islam Indonesia). 
Asimah adalah sosok yang lain. Dia adalah ibu yang terbelenggu kisah masa lalu. Dia tak ingin kisah hidupnya yang getir juga menular ke anaknya, Aini. Sebagai ibu, Asimah terlalu kaku mengekang Aini. Rizal, sepupunya, menganggap Aini hanya minggat sementara untuk lari dari kekangan ibunya, sementara Asimah percaya bahwa Aini hilang di rekrut NII.
Satu hal yang menarik adalah Jajang C Noer adalah satu-satunya aktris professional yang main di film ini, dan tak dapat dipungkiri bahwa permainan beliau di film ini sangat gemilang dan mampu membawa penonton larut dalam emosi dan konflik batin Asimah.

6. MBAK WIED / dr. WIED - Biola Tak Berdawai (Sekar Ayu Asmara, 2002)


Memerankan karakter Mbak Wied, seorang dokter di suatu tempat rehabilitasi anak-anak cacat, dan tempat curahan hati  dari seorang wanita bernama Renjani (Ria Irawan). Penampilan Jajang di film ini cukup berkesan.

7. NAWARA - Batas (Rudi Soedjarwo, 2011)



Karakter lain ditampilkan Jajang di film besutan Rudi Soedjarwo dan Marcella Zalianty ini. Menjadi perempuan suku dayak bernama Nawara, yang di film ini bersama Panglima Adayak (Piet Pagau) berusaha untuk menyingkirkan batas di antara hubungan mereka erdua yang mulai tercipta emenjak kematian puteri dari Nawara, yang merupakan menantu dari Panglima Adayak. Penampilan Jajang di film ini salah satu yang terbaik, dan yang menarik karena Jajang memainkan logat khas di film ini.

8. NANCY - Matahari Matahari (Arifin C Noer, 1985)


Dalam film drama sosial Matahari Matahari Arifin C Noer menghadirkan tokoh Nancy, diperankan bagus oleh Jajang C. Noer, Nancy adalah seorang perempuan muda yang tampaknya gagal menjadi novelis, dan agak berubah ingatan. Di mana ia berada selalu mencaci orang-orang kaya dan mencoba mempertahankan keaslian budaya sendiri. Itu makanya ia mengagumi Warga (Wawan Wanisar) ketika masih gelandangan, karena laki-laki itu masih berbau wangi desa. Arifin C Noer sebagai penulis cerita, skenario dan sutradara mengatakan bahwa Nancy adalah prototipe seniman-seniman Indonesia, 
yang mencoba membela kemiskinan tapi tak tahu kenyataan sosial sebenarnya. Peran Nancy memberikan ruang yang cukup bagi Jajang C Noer untuk mengeksplor kemampuan aktingnya, dan Jajang pun berhasil mencuri perhatian penonton di film ini.


9. HETTY - Dilema (Adilla Dimitri, Robert Ronny, Robby Ertanto, Rinaldy Puspoyo, 2012)

 
Jajang C Noer menjadi Hetty, dia adalah seorang wanita yang setia hanya kepada satu boss, yaitu SW (Roy Marten). Puluhan tahun ia mengabdi kepada SW sebagai asisten pribadi, sekretaris, dan orang yang akan terus mendampingi boss-nya hingga akhir hayat. Itulah tujuan hidupnya. Hetty tidak punya pilihan lain karena ia tahu terlalu banyak rahasia kehidupan SW. Selama mengabdi kepada SW, Hetty merasa hidupnya akan aman karena ia tahu betul reputasi SW dan apa yang bisa dilakukan boss-nya ini kepada apapun atau siapapun yang berani melawannya. Jajang tampil begitu bagus dengan karakter dingin dan terlihat setia dengan boss-nya yang diperankan Roy Marten. Ditambah pula dengan penampilan outlook yang meyakinkan sebagai sekretaris di usia matang.

10. FITRI - Cinta Setaman (Harry Dagoe Suharyadi, 2008)


Di film omnibus dengan banyak ensemble cast ini, Jajang C Noer termasuk pemain yang menampilkan akting yang paling bagus dan menjadi mood booster dalam menonton film dengan banyak segmen ini. Segmen terakhir, "Pisang Ambon Teman Rio", Jajang memberikan penampilan terbaiknya, menjadi seorang ibu yang mempertanyakan kembali niat naik hajinya setelah mendapati bahwa uang yang diberikan anaknya (diperankan Alex Abbad) didapat dari pekerjaan sebagai gigolo. 


* Special Mention
Karya sebagai Sutradara

1. Film Dokumenter : SELASIH (NAMA SAYA SELASIH)

 
On the Record vol. 1
Selasih, nama samaran Sariamin Ismail, lahir di Sumatera Barat tahun 1909. Pada mulanya diberi nama Basariah, namun nama ini kemudian diganti dengan Sariamin. Sesudah menanjak karirnya sebagai pengarang pada tahun '30-an, Selasih menggunakan nama samaran lain seperti Seleguri, tapi karya-karya yang paling terkenal diterbitkan di bawah nama "Selasih". Selasih sangat produktif dan telah menerbitkan puluhan buku sebelum wafat pada tahun 1995. Terkenal karena sifat kemandiriannya, sebagian besar karangannya mendukung perluasan kesempatan untuk perempuan.
 Dokumenter ini digarap Yayasan Lontar dengan sutradara Jajang C Noer, editor Karsono Hadi dan tata kamera oleh Arya Teja.


2. BUKAN PEREMPUAN BIASA (Jajang C Noer, 1996)

Sepeninggal sang suami, Arifin C Noer di tahun 1995, membuka pintu baru bagi Jajang C Noer, untuk mengikuti sang suami menjadi seorang sutradara. Almarhum Arifin C Noer berpulang meninggalkan warisan berupa naskah sinetron Bukan Perempuan Biasa yang baru diproduksi sebanyak tujuh episode. Setelah mendapat rekomendasi dari sutradara Ahmad Yusuf, Jajang memantapkan langkah untuk melanjutkan proyek tersebut. Hasilnya mengejutkan dan tak disangka-sangka, sinetron pertama yang digarap Jajang, berhasil menorehkan prestasi, dari segi kualitas dan komersial. Bukan Perempuan Biasa yang dibintangi Christine Hakim itu meraih Piala Vidia FSI 1997 untuk drama seri terbaik, selain itu Desy Ratnasari juga meraih Piala Vidia untuk pemeran pembantu wanita terbaik. Sinetron ini juga meraih rating yang tinggi dan mendapatkan iklan yang banyak. Sebuah pembuktian bahwa Jajang C Noer adalah sineas yang lengkap dan mumpuni.

3. IBU (Jajang C Noer, 1998)
Setelah menggarap Bukan Perempuan Biasa, Jajang kembali membuat karya dengan sorot utama karakter perempuan, kali ini seorang ibu yang sudah sepuh (diperankan Nani Somanegara) yang memiliki anak-anak yang sudah menjalani kehidupan masing-masing. Konflik utama terletak pada hubungan antara ibu dengan anak, mertua dengan menantu, adik dengan kakak dan seputar keluarga itu. Hanya 13 episode, namun jalan ceritanya menarik untuk diikuti, dan sesuai dengan realitas yang terjadi di masyarakat. Hal yang menarik juga, adalah setiap episode sinetron in, ditutup dengan adegan di sebuah coffee shop dan menampilkan para penyanyi ternama membawakan lagu-lagu mereka. Diantaranya Krisdayani, Iis Dahlia, Sudjiwo Tedjo, dan lain-lain. Jajang C Noer berhasil mengarahkan deretan ensemble cast IBU dengan baik, terlihat dari penampilan Marini Zumarnis, Dicky Wahyudi dan Cut Tari yang tidak mengecewakan, dan tentunya ditambah dengan penampilan prima para pemain senior seperti Nani Somanegara, Reggy Lawalata, Rudy Salam, dan Dwi Yan. 

4. FTV - TIDAK SEMUA LAKI-LAKI (Jajang C Noer, 2001)

Drama lepas ini termasuk yang istimewa, karena ditulis oleh almarhum Arifin C Noer. Inti ceritanya adalah seorang perempuan yang mengalami trauma dengan laki-laki. Diperankan bagus oleh pemain-pemain sekelas Nurul Arifin, Rina Hassim, dan Rachmat Hidayat. 

5. FTV - JAKARTA SUNYI SEKALI DI MALAM HARI (Jajang C Noer, 2001)

Diadaptasi dari cerpen Jujur Prananto di harian Kompas tahun 2000, berjudul Jakarta Sunyi Sekali di Malam Hari, adalah sebuah kesaksian atas kerasnya kehidupan kota Jakarta yang menimpa seorang bapak bernama Mudakir yang hendak mengunjungi anaknya yang telah lama tidak pulang kampung atau memberi kabar. Malangnya, si bapak malah tersesat setelah uangnya habis ditipu seorang perempuan hingga akhirnya menggelandang bertahun-tahun dan hidup tak menentu dan terpisah dari keluarga. Ditulis sendiri oleh Jujur Prananto, dimainkan oleh Rachmat Hidayat sebagai Mudakir, Maudy Koesnaedy, Adjie Pangestu dan Jajang C Noer sendiri sebagai wanita pemijat.

6. Pertujukan Drama "VAGINA MONOLOG" (2002)
 

Jajang C Noer menyutradarai pertunjukan drama Vagina Monolog di Taman Ismail Marzuki. Pertunjukan drama yang naskah aslinya diambil dari terjemahan buku karya Eve ensler itu melibatkan sejumlah tokoh publik wanita ternama, seperti Ratna Riantiarno, Rima Melati, Ria Irawan, Ayu Azhari, Nursjahbani Katjasungkana, Enno Lerian dan lain sebagainya. Pementasan Vagina Monolog kali ini dimaksudkan sebagai pentas penggalangan dana bagi program penaggulangan perdagangan perempuan dan anak, sekaligus memperingati Hari Perempuan.


7. FTV  “JODOH” (Jajang C Noer)

Produksi PRIMA ENT - 2001, 
Pemain : Mathias Muchus, Sigit Hardadi


8. FTV  “TEMANI AKU CINTA” (Jajang C Noer)

Produksi PRIMA ENT - 2001, 
Pemain : Tengku Firmansyah, Cindy Fatika


9. FTV  “MAE SAHABATKU” (Jajang C Noer)

 Produksi PRIMA ENT -2002


       10. FTV  “BIARKAN CINTA MENJADI MILIKMU” (Jajang C Noer)

 Produksi PRIMA ENT - 2002, 
Pemain : Rionaldo Stockhorst, Bunga Citra Lestari


        11. FTV  “SEMUA BILANG CINTA” (Jajang C Noer)

 Produksi PRIMA ENT - 2002


   12. FTV  “ANTARA PENGGORENGAN DAN TEMPAT TIDUR” (Jajang C Noer)
             Produksi PRIMA ENT - 2002
           Skenario : Viva Westi

13. FTV  “MAWAR MERAH DAN MAWAR PUTIH” (Jajang C Noer)
                  Produksi PRIMA ENT - 2002

14. ARISAN THE SERIES (Jajang C Noer, 6 Episode)

 
Produksi Kalyana Shira Film dan ANTV
Pemain : Tora Sudiro, Cut Mini, Surya Saputra, Aida Nurmala, Rachel Maryam
Nominee Drama Seri Terbaik, Piala Vidia 2006



Prestasi 

1.  Pemeran Pembantu Wanita Terbaik FFI 1992 (Bibir Mer)
-- Nominee lain : Nunu Datau (Rini Tomboy), Paramitha Rusady (Kuberikan Segalanya)

2. Best Actress Cinefan Award 2002 (Eliana Eliana)
3. Pasangan aktris terbaik di Deauville Asian Film Festival di Prancis tahun 2003 (bersama Rachel Maryam di film Eliana, Eliana)

4.  Nominee Pemeran Utama Wanita FFI 2004 (Eliana Eliana)
-- Nominee lain : Christine Hakim (Pasir Berbisik), Dian Sastrowardoyo (Pasir Berbisik), Dian Sastrowardoyo (Ada Apa Dengan Cinta?), Rachel Maryam (Eliana Eliana)
5.  Nominee Pemeran Utama Wanita FFI 2006 (Berbagi Suami)
-- Nominee lain : Luna Maya (Ruang), Nirina Zubir (Heart), Shanty (Berbagi Suami), Titi Kamal (Mendadak Dangdut)
6. Nominee Pemeran Utama Wanita FFI 2010 (7 Hati 7 Cinta 7 Wanita)
-- Nominee lain : Fanny Fabriana (Hari Untuk Amanda), Laura Basuki (3 Hati 2 Dunia 1 Cinta), Ratu Tika Bravani (Alangkah Lucunya Negeri Ini), Titi Sjuman (Minggu Pagi di Victoria Park)
7. Nominee Pemeran Pembantu Wanita Piala Vidia 2005 (Senyum Untuk Dessy)
  -- Nominee lain : Alyssa Putri (Juli di Bulan Juni), Rindu AFI (Rocker Gitu Loh), Tati Aprilia (Sayekti dan Hanafi)
8. Nominee Pemeran Utama Wanita Piala Vidia 2011 (Sandal Butut)
-- Nominee lain :  
Adinia Wirasti (Mahasmara), Happy Salma (Tak Cukup Sedih), Maudy Koesnaedi (Si Doel Anak Pinggiran), Poppy Sovia (Rocker Jadi Romantis)
9. Nominee Supporting Actress, MTV Indonesia Movie Award 2004 (Biola Tak Berdawai)
 -- Nominee lain :
Aida Nurmala (Arisan), Rachel Maryam (Arisan), Dinna Olivia (Tusuk Jelangkung), Titi Kamal (Eiffel I'm In Love) 
10. Nominee Pemeran Utama Wanita Indonesian Movie Award 2007 (Berbagi Suami)
-- Nominee lain:
Cornelia Agatha (Detik Terakhir), Luna Maya (Ruang), Nirina Zubir (Mirror), Rachel Maryam (Anne Van Jogja)

11. Nominee Pemeran Utama Wanita Indonesian Movie Award 2011 (7 Hati 7 Cinta 7 Wanita)
-- Nominee lain :
Titi Sjuman (Minggu Pagi Di Victoria Park), Alexandra Gottardo (Tanah Air Beta), Laura Basuki (3 Hati 2 Dunia 1 Cinta), Wulan Guritno (Demi Dewi)
12. IKJ Award 2012 untuk Aktris Terbaik
-- Nominee lain : Aty Kanser, Happy Salma, Meriam Bellina, Revalina S Temat


Sineas: 'PENATA KAMERA FILM KLASIK'


1. AKIN


 
Akin atau Andy Sadikin (Tjhan Kok Kin) adalah sineas legenda Indonesia. Namanya tercatat sebagai salah satu pelopor Penata Sinematografi Indonesia. Mulai tercatat di credit title sebagai penata kamera di tahun 1955 untuk Disimpang Djalan. 84 juudl film telah berhasil di tata kameranya. Berbagai penghargaan juga pernah diraihnya, seperti Piala Citra 1974 untuk Cinta Pertama, Piala Citra FFI 1982 untuk film Jangan Ambil Nyawaku, dan Piala Akademi Sinematografi FFI 1978 untuk film Gaun Hitam. salah satu hasil sorot gambar terbaiknya, di film Cinta Pertama (1973).


2. LUKMAN HAKIM NAIN




Sineas yang memang berbakat dalam dunia fotografi ini tak perlu diragukan lagi kapabilitasnya. Memulai karir di tahun 1957, Lukman Hakim nain juga pernah mencicipi bangku sutradara, untuk film Dikejar Dosa (1975). Tapi publik lebih mengenalnya sebagai Penata kamera handal, khususnya untuk film-film karya Wim Umboh. Empat Piala Citra (FFI 1973, 1975, 1976, 1978) dan meaih nominasi (1979, 1980, 1981, 1986) adalah bukti dedikasi dan kualitasnya sebagai penata kamera. Adegan-adegan Badai Pasti Berlalu (1977) yang teringat di benak penonton, adalah hasil karyanya.

3. GEORGE KAMARULLAH





Nama besar sineas asal Ambon ini telah tercatat di sejarah perfilman nasional. Selain tata kamera, George juga pernah menjadi penyunting gambar. Dengan prestasi setengah lusinan piala Citra, tiga kali berjaya untuk penyuntingan Usia 18 (FFI 1981), Di Balik Kelambu (FFI 1983) dan Ponirah Terpidana pada FFI 1984. Kemudian 3 kali pula menang buat sinematografi, Doea Tanda Mata (FFI 1985), Ibunda (FFI 1986) dan Tjoet Nja Dhien pada FFI 1988. Masih diunggulkan dua kali lagi, juga sebagai juru kamera, Selamat Tinggal Jeanette (FFI 1988) dan Taksi pada FFI 1990. Film Teguh Karya Doea Tanda Mata terpilih sebagai film terbaik pada Festival Film Asia Pasifik 1986 di Seoul (Korea Selatan). George Kamarullah juga menerima piala untuk Sinematografi terbaik pada festival internasional itu.

4. TANTRA SURJADI





Tantra Surjadi atau Tan Sin Liam, Tan Sing Liem pertama kali bukan bertindak sebagai penta kamera, melainkan editor. dalam beberapa kali pembuatan film, dia merangkap tugas sebagai asisten juru kamera. Setelah film Intan Kesepian, Tantra lebih dikenal sebagai penata kamera, dari kurun waktu 1977 hingga tahun 1993. Beberapa kali mendapat Piala Citra dan beberapa kali juga mendapat nominasi. Tantra juga mendapat penghargaan kesetiaan profesi dari BP2N tahun 1997. Adegan-adegan berkesan yang berhasil ia sorot, seperti di film Perempuan Dalam Pasungan dan Kembang Kertas.

5. M SOLEH RUSLANI

 

Pertama kali menjadi penata kamera untuk film Percintaan (1973), sudah sekitar 29 judul film yang kameranya ditata oleh M Soleh Ruslani. Penataan kamera yang apik olehnya dapat dilihat antara lain di film Kodrat (1986), yang memberinya Piala Citra untuk Tata Kamera terbaik. Piala Citra kedua diraih tahun 1991 untuk film Cinta Dalam Sepotong Roti, memang pantas untuk menang, karena di film itu kita melihat obyek-obyek yang indah dan suasana damai, tenang, serta romantis dari film debut Garin Nugroho itu.

6. SOETOMO GANDASOEBRATA



Penata Kamera senior Soetomo Gandasoebrata memulai karir tahun 1951, sebagai asisten penata kamera untuk film Si Pintjang. Karirnya yang begitu panjang, menghasilkan prestasi, diantaranya merebut 3 Piala Citra, FFI 1983 untuk film RA Kartini, FFI 1984 untuk film Budak Nafsu, dan FFI 1990 untuk film Langitku Rumahku. Soetomo Gandasoebrata yang juga pernah menjabat Pimpinan FFTV IKJ, meninggal dalam usia 71 tahun, di tahun 1998.

7. LEO FIOOLE



Leo Fioole, sineas lulusan kursus film, foto dan teater di Belanda ini mulai menjadi sineas film, tahun 1955. Pertamanya juru tata suara yang digelutinya, hasilnya cukup memuaskan. Film-film legendari seperti Tiga Dara (1956), Tiga Buronan (1957), Pedjuang (1960) adalah salah satu hasil kerja kerasnya. Leo Fioole yang menggemari dunia fotografi, juga aktif di film dokumenter, dan untuk film cerita bioskop dimulai tahun 1964. Banyak film-film berkelas yang telah ikut ditanganinya, seperti Kabut Sutera Ungu yang memberinya Piala Citra, dan yang unik, Leo Fioole mendapat "Catatan Istimewa" dari FFI 1955 untuk film Debu Revolusi.


LEO FIOOLE
Juru Kamera/Juru Suara (Lho Seumaweh, 16 Mei 1927 ).
Nama lengkap : Leonardus Fioole.
Pendidikan : HBS. (2 tahun), Sekolah Marconist, kursus Elektronik PDK, kursus film, foto & theater di negeri Belanda.
Leo mulai karir filmnya sebagai Juru Suara pada "Bintang Surabaya Film." Kemudian pindah ke N.V. Perfini. Sebelumnya bekerja sebagai juru suara di RRI, Remaco dan Irama. Sebagai Juru Suara telah menghasilkan antara lain
"Tiga Dara" (1956), "Tiga Buronan" (1957), "Pedjuang" (1960). Sementara itu penggemar fotografi yang aktif dan memperdalam penggunaan cine-camera. Karirnya sebagai Juru Kamera dimulai
dari film dokumenter. Sedang untuk film cerita dimulai sejak
tahun 1964 lewat film "K.K. 17," kemudian "Mutiara Hitam"
(1967).
Karya-karya berikutnya antara lain "Mutiara Dalam Lumpur"
(1972), "Ateng Pendekar Aneh" (1977), "Yang Muda Yang Bercin-
ta" (1977) "Primitip" (1978) dan lain-lain.
Mendapat Piala Khusus LPKJ pada FFI 1976 di Bandung untuk
Penataan Gambarnya dalam "Semalam di Malaysia" (1975).
8. HARRY SUSANTO



Salah satu penata kamera yang produktif. 87 film telah ditanganinya, tentu dengan prestasi yang hebat. Dibimbing oleh Liaw Kwan Hin, pemilik Olympiad Film. Tahun 1964 memulai karir sebagai penata kamera, dan setelah itu banyak film-film yang berhasil diambil gamvar-gambar terbaiknya, diantaranya Ramadhan dan Ramona, Matahari Matahari, Langit Kembali Biru, Perawan Desa dan masih banyak lagi. 3 kali masuk unggulan FFI untuk FFI 1986, 1991, dan 1992. Mendapat Festival Film Bandung 1994 untuk Penata Kamera Terpuji, film Meriam Bellina, Asmara (1993).

9. F.E.S TARIGAN 

 

 

Penata Kamera yang lulus dari All Union Institute of Cinematography, di Rusia ini, memulai karirnya di perfilman tahun 1971 dengan menata kamera film Tanah Gersang. FES Tarigan juga mengajar di IKJ dan sempat menjadi anggota komite seleksi FFI, 6 tahunbelajar ilmu fotografinya di Rusia tak sia-sia.  dia meraih Piala Citra untuk Penata Kamera Terbaik untuk film Plong (1991), Penata Kamera Terpuji Festival Film Bandung untuk film Kipas-kipas Cari Angin (1990), dan Piala Akademi Sinematografi untuk Penata Kamera Terbaik kedua pada FFI 1977 untuk film Si Doel Anak Modern.

10.  ADRIAN SUSANTO


Juga dikenal sebagai Habel Adrian Sutanto, Tan Sin Djin, mulai aktif di film tahun 1969, dan pertama kali dipercaya menjadi penata kamera tahun 1973 untuk film Dimadu. Sebenarnya latar belakang pendidikan Adrian adalah ilmu ekonomi dan ilmu tata buku, tapi karena minatnya yang besar di ilmu Sinematografi, maka Adrian Susanto memilih karir sebagai Penata Kamera film, dan pilihannya tak salah, dia menjadi salah satu penata kamera terbaik dengan meraih 4 nominasi FFI, dari 64 judul film telah ditanganinya. Karya terbaiknya salah satu contohnya adalah di film Roro Mendut, mengambil gambar adegan Meriam Bellina sebagai roro mendut yang merokok, begitu berkesan.